JAKARTA, KOMPAS.com - Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin mengungkap praktik suap di Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok Jakarta yang terjadi 2008 silam.
Dia mengatakan, perputaran uang ilegal dalam praktik tersebut nilainya sangat besar, hampir menyentuh Rp 50 miliar per bulan.
Ini disampaikan Jasin saat menyinggung pembenahan di internal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyusul kabar dugaan transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di instansi yang dipimpin oleh Sri Mulyani tersebut.
“Kalau menurut informasi yang dikaji oleh tim kami, bahwa suap itu ada di situ setiap bulannya diperkirakan Rp 47 miliar. Itu yang hanya amplop-amplop,” kata Jasin dalam program Satu Meja The Forum Kompas TV, dikutip Sabtu (1/4/2023).
Baca juga: Dari Rumah Rafael, KPK Amankan Puluhan Tas Mewah Merek Luar Negeri
Jasin bercerita, praktik suap tersebut bermula ketika KPK melakukan kajian sejumlah sistem di pajak dan bea cukai. Dari kajian itu ditemukan indikasi korupsi yang sangat kuat di Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok.
Salah satunya ditemukan fakta bahwa oknum yang diduga terlibat praktik tersebut sengaja menghindari penggunaan smartphone untuk mengantisipasi penyadapan.
Suatu hari, Mei 2008, KPK melakukan inspeksi mendadak (sidak) di instansi tersebut. Laci-laci meja para pegawai digeledah.
Hasilnya, ditemukan amplop-amplop berisi uang dari para importir yang dikirim melalui pihak ekspedisi. Dari sidak yang hanya berlangsung 3 jam itu, didapati uang senilai Rp 500 juta.
Baca juga: Soal Penahanan Rafael Alun, KPK: Ini Soal Waktu Saja
Jika dikalkulasi, peredaran dana ilegal di instansi tersebut jumlahnya hampir menyentuh Rp 50 miliar per bulan.
“Itu hanya di (Kantor Bea dan Cukai) Tanjung Priok, tidak skala nasional,” ujar Jasin.
Dari sidak tersebut, KPK menciduk sejumlah oknum yang diduga terlibat praktik suap. Kasus itu pun berujung ke pengadilan.
Jasin mengatakan, kejadian tersebut seharusnya menjadi momentum bersih-bersih Kemenkeu. Namun, sebaliknya, setelah 15 tahun berlalu, praktik serupa kini justru terulang kembali, malah dengan nominal yang jauh lebih besar.
“Itu seperti katakanlah memadamkan kebakaran sesaat, kumat lagi sekarang. Kumatnya lebih dahsyat lagi kalau sampai ratusan triliun itu, kemudian itu mengalir ke mana-mana, TPPU,” kata Jasin.
Baca juga: KPK Cek LHKPN Pejabat Dishub DKI Massdes Arouffy Buntut Istri yang Pamer Harta
Pimpinan KPK periode 2007-2011 itu mengaku tak heran dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal dugaan transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di Kemenkeu.
“Concern kita menunggu Bu Menteri ini melakukan pembenahan, ternyata juga tidak, malah lebih canggih lagi,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, belakangan gaduh temuan PPATK soal dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan.
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Mahfud MD mengungkap bahwa dugaan transaksi janggal itu merupakan data agregat dugaan TPPU periode 2009-2023.
Data yang bersumber dari 300 laporan hasil analisis (LHA) tersebut terbagi menjadi 3 kelompok. Pertama, transaksi mencurigakan yang langsung melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp 35 triliun.
Dalam hal ini, data Mahfud berbeda dengan yang sebelumnya diungkap oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
"Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI (DPR RI) menyebut hanya 3 triliun, yang benar 35 triliun," katanya dalam rapat bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Kelompok kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lainnya. Menurut Mahfud, transaksi ini berkisar Rp 53 triliun.
Baca juga: Soal Dugaan Pencucian Uang Impor Emas Rp 189 Triliun di Bea Cukai, PPATK Sebut Ada Perubahan Pola
Klaster ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik Tindak Pidana Asal (TPA) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Jumlahnya sekitar Rp 260 triliun.
"Sehingga jumlahnya Rp 349 triliun, fix," ujar Mahfud.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itu mengatakan, total ada 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu yang terlibat transaksi-transaksi janggal tersebut.
Selain itu, ada 13 ASN kementerian/lembaga lain dan 570 non-ASN yang terlibat digaan transaksi janggal ini, sehingga totalnya mencapai 1.074 orang terlibat.
Sebelumnya, menanggapi kegaduhan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa tidak semua laporan dugaan transaksi janggal itu berkaitan dengan pegawai Kemenkeu.
Baca juga: Jawab DPR soal PPATK Laporkan Transaksi Janggal Kemenkeu, Mahfud: Saya Ketua Komite TPPU
Dari laporan PPATK yang berisi kompilasi 300 surat dugaan transaksi janggal, cuma 135 surat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pegawai Kemenkeu. Nilainya "hanya" sekitar Rp 3 triliun.
"Bahkan 22 triliun ini, 18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang nggak ada hubungan dengan Kementerian Keuangan," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
"Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan itu 3,3 triliun. Ini 2009 hingga 2023, 15 tahun seluruh transaksi debit-kredit dari seluruh pegawai yang diinkuiri tadi, termasuk penghasilan resmi transaksi dengan keluarga, transaksi jual beli aset, jual beli rumah, itu 3,3 triliun," tuturnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.