JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana memperbaiki pengumpulan SKP ke dalam satu sistem yang terintegrasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Nantinya, penginputan SKP dilakukan secara online melalui sistem tersebut.
Adapun SKP dibutuhkan seorang dokter untuk mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP).
Untuk mendapat STR dan SIP, dibutuhkan sedikitnya 250 SKP yang bisa didapatkan dari pelatihan atau seminar/workshop dalam ranah pembelajaran; dari praktek pelayanan pasien dalam ranah profesional; maupun penyuluhan atau kegiatan dalam ranah pengabdian.
"SKP akan tercatat secara digital terpusat, pencatatan SKP ini semua mutlak harus dilakukan baik melalui seminar, kegiatan sosial, praktek, dan profesi lainnya yang terintegrasi sehingga transparan proses perpanjangan SIP-nya," kata Dirjen Tenaga Kesehatan Arianti Anaya dalam public hearing RUU Kesehatan di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Baca juga: Menkes Disomasi Usai Sebut Biaya Perpanjangan STR dan SIP Dokter Rp 6 Juta
Dia menyampaikan, sistem tersebut tengah dibuat. Dengan sistem itu, perolehan SKP dari beragam kegiatan bisa dilihat secara transparan oleh pihak yang membutuhkan, termasuk dokter dan tenaga kesehatan yang tengah mengumpulkan SKP.
Jika panitia seminar maupun panitia kegiatan yang beragam tersebut lupa menginput SKP, maka bisa diklaim oleh pihak-pihak terkait.
"Bapak Ibu, ini adalah sistem yang sedang kita buat. Misalnya, Pak Robi SKP-nya dapat, itu langsung masuk ke dalam (akun) login-nya, namanya Pak Robi. Jadi waktu Pak Robi buka namanya Pak Robi, Pak Robi itu sudah tau SKP-nya sudah dapat berapa, dari mana saja," tutur Arianti.
"Misalnya Pak Robi melakukan pelatihan, ternyata panitia lupa memasukkan SKP, maka Pak Robi bisa mengklaim. Jadi otomatis terintegrasi. Kemudian nantinya berdasarkan SKP yang sudah memenuhi syarat ini, maka kita akan menerbitkan SIP," Imbuh dia.
Baca juga: Menkes Akan Sederhanakan Proses Penerbitan STR untuk Tenaga Kesehatan
Lebih lanjut dia menyampaikan, Kemenkes bakal menyederhanakan dan menentukan standardisasi pembobotan SKP. Pasalnya saat ini, tiap kegiatan memiliki bobot SKP yang berbeda-beda. Biaya yang perlu dikeluarkan pun bervariasi dari murah hingga mahal.
Standardisasi bertujuan untuk membantu tenaga medis maupun tenaga kesehatan menjadi kompeten. Ia tak ingin pengumpulan SKP justru membebani tenaga kesehatan sampai harus meninggalkan pekerjaannya.
"Jadi intinya jelas seperti itu. bukan kemudian nanti mereka dibebani karena harus mengumpulkan SKP, kemudian harus meninggalkan pekerjaan, bayar cukup besar. Kalau ini bisa kita fasilitasi bersama, tentu semakin banyak nakes yang bisa memenuhi standar," jelas Arianti.
Baca juga: Lewat RUU Kesehatan, Pemerintah Upayakan Pemenuhan Hak-hak Kesehatan Masyarakat
Kemudian, standardisasi ini akan dibahas lebih lanjut dengan beberapa stakeholder terkait.
"Artinya kita akan duduk bersama. Kemenkes akan bersama-sama dengan stakeholder terkait untuk memutuskan berapa sebenarnya standardisasi pembobotan SKP. Dan juga bagaimana kita bisa membantu nakes untuk kemudahan akses untuk mendapatkan pelatihan dan seminar," sebut Arianti.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.