JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Prof (Assc) Dr Darmadi Durianto, SE, MBA mengusulkan penggabungan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPSK) dan Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK).
Darmadi menilai, penggabungan tersebut perlu diwujudkan lantaran dua badan negara tersebut “mandul” dalam upaya memperkuat perlindungan hak konsumen di Tanah Air.
Selain itu, ia juga menilai, Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dalam posisi lemah. Alhasil, BPKN dan BPSK tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal.
"Dalam UU tersebut tertulis (BPKN) berfungsi menerima pengaduan dari masyarakat saja. BPKN enggak bisa berbuat apa-apa untuk melakukan eksekusi, hanya menerima pengaduan. Artinya, (lembaga) itu mandul," ujar Darmadi kepada Kompas.com saat ditemui di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/3/2023).
Baca juga: Tak Hanya Lindungi Konsumen, YLKI Minta Revisi UU Perlindungan Konsumen Lindungi Semua Pihak
Sebagai informasi, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999, salah satu fungsi dan tugas BPKN adalah memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah.
Selain itu, BPKN juga punya tugas untuk menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha, dan melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
"Kalau ada apa-apa (berkaitan dengan konsumen), BPKN hanya melakukan kajian, lalu mengirimkan (hasilnya) kepada presiden. (Hasil kajian itu) tidak mengikat dan tidak ada fungsi khusus. Inilah yang membuat BPKN ‘mandul’ sehingga tidak berfungsi optimal," terang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
Setali tiga uang dengan BPKN, ia juga menilai bahwa BPSK tak bertaji dalam menyelesaikan sengketa konsumen di lapangan.
Baca juga: Revisi UU Perlindungan Konsumen Mendesak, Badan Ahli DPR: Kita Sudah Ketinggalan
Merujuk UU yang sama, BPSK bertugas di level kabupaten/kota guna menuntaskan sengketa di masyarakat dengan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Persoalan kemudian muncul lantaran UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) menyebutkan bahwa perlindungan konsumen merupakan kewenangan pemerintah provinsi (pemprov).
Hal itu, kata Darmadi, berdampak pada peralihan anggaran BPSK dari yang awalnya melekat pada APBD kabupaten menjadi melekat pada APBD provinsi.
"Di sisi lain, APBD provinsi tidak mencukupi sehingga (dananya) tidak mengalir ke BPSK. Alhasil, BPSK tidak menerima dana dan hanya menerima uang hibah. Adapun uang hibah hakim per bulan adalah Rp 500.000-Rp 1 juta,” jelasnya.
Baca juga: Tren Pengaduan Properti Naik, YLKI Desak Pemerintah Bikin Organisasi Perlindungan Konsumen
Kondisi tersebut, lanjut Darmadi, menyebabkan BPSK tidak dapat menjalankan fungsinya dalam menyelesaikan sengketa secara optimal.
"Hakim-hakimnya pun pada enggak ada semua. Lantas, apa yang kemudian terjadi? BPSK juga ‘mandul’ dalam menjalankan fungsinya sebagai penuntas sengketa konsumen di daerah," kata Darmadi.
Darmadi melanjutkan, masyarakat masih lemah ketika menghadapi sengketa dengan pelaku usaha. Menurutnya, penggabungan kedua lembaga tersebut dapat menjadi salah satu solusi sebagai jaring pengaman bagi konsumen. Apalagi, saat ini, belum ada lembaga yang efektif menjamin melindungi konsumen. Alhasil, mereka kocar-kacir bila terjadi sengketa.
"Belum lagi, UU-nya lemah. Jadi, saya menyarankan agar BPKN dan BPSK digabung dan mendapat dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga dapat berperan optimal," tandasnya.
Baca juga: Akademisi IPB Ungkap UU Perlindungan Konsumen Belum Maksimal
Di tengah hiruk-pikuk persoalan aduan konsumen beberapa waktu terakhir, Darmadi juga menyoroti urgensi revisi UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Ia menilai, beleid tersebut masih lemah dalam melindungi konsumen. Pada kasus konsumen Meikarta, misalnya, sejumlah konsumen justru dituntut balik oleh pihak terlapor. Padahal, mereka hanya menagih haknya, salah satunya adalah pengembalian uang lantaran tak ada kepastian serah terima unit sejak pembayaran pertama pada 2017.
Darmadi pun menyebutkan salah satu contoh tumpang tindih substansi pada UU Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 54 ayat 3, misalnya, putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat (final and binding). Itu artinya, putusan pertama dan terakhir tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi.
Sementara itu, pada Pasal 58 ayat 2, tertulis bahwa para pihak (dalam waktu paling lama 14 hari) dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Baca juga: Konsep Perlindungan Konsumen
"Putusan majelis dalam BPSK disebut final and binding, tetapi di pasal berikutnya mereka boleh mengajukan keberatan. Kan aneh. (Bersifat) final and binding, tapi boleh mengajukan kasasi," ujarnya.
Faktanya, imbuh Darmadi, seluruh pengajuan permasalahan sengketa oleh konsumen di tataran MA (sebagian besar) kalah semua.
"Di tingkat MA, semua konsumen kalah. Jadi, (sebenarnya) perlindungannya tidak ada bagi konsumen," tambahnya.
Berdasarkan pemaparan Badan Keahlian DPR RI, Darmadi memprediksi UU Nomor 8 Tahun 1999 akan dirombak 50 persen hingga 70 persen jika dilakukan revisi.
Baca juga: Disentil Jokowi Soal Perlindungan Konsumen, OJK Bakal Benahi Market Conduct sampai Pelayanan
"Bisa sampai 70 persen (dirombak). Jadi, fundamental sekali untuk menata ulang UU Perlindungan Konsumen yang begitu krusial," kata dia.
Kompleksitas persoalan perlindungan konsumen juga tak lepas dari kultur masyarakat yang sudah terlanjur enggan untuk aktif melapor.
Karena itu, lanjut Darmadi, tak sedikit konsumen yang lebih memilih bungkam lantaran tak ada jaminan perlindungan bagi mereka.
"Meski begitu, saya menganjurkan kepada masyarakat untuk tetap aktif melapor bila menghadapi kasus pelanggaran hak konsumen. Hal ini penting dilakukan agar budaya lapor terus tumbuh di masyarakat untuk mendorong perubahan," jelasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.