KEBERADAAN Generasi Z atau Gen-Z di Indonesia mencapai 29 persen dari total penduduk. Mereka akan jadi incaran pada Pemilu 2024 mendatang, terutama bagi para Gen-Z yang masuk dalam golongan pemilih pemula dan perdana ikut mencoblos.
Fenomena keberadaan Gen-Z di Indonesia sangatlah penting untuk ditelaah secara mendalam, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam riset yang dilakukan UMN Consulting dengan melibatkan 802 Gen-Z dari Jabodetabek, dapat disimpulkan tiga poin temuan penting. Pertama, Gen-Z paling mudah diterpa oleh informasi politik di media sosial. Kedua, Gen-Z memiliki pandangan pemimpin ideal harus menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), melek digital, dan tidak memiliki riwayat korupsi. Ketiga, Gen-Z memberikan red flag terhadap politisi yang kerap memberikan janji manis serta menggunakan jabatan semena-mena.
Baca juga: Akademisi UMN: Gen Z akan Menjadi Pembeda dalam Pemilu 2024
Riset UMN Consulting ini tentu masih memiliki beberapa limitasi. Salah satunya hanya berusaha merekam Gen-Z di wilayah tertentu, dan bukan representasi dari Gen-Z di Indonesia.
Meski demikian, riset UMN Consulting menjadi penting karena bisa memberikan gambaran awal kepada partai politik yang menjadi peserta pemilu mendatang.
Sementara itu, penelitian kualitatif dengan penerapan focus group discussion (FGD) yang pernah saya lakukan menyimpulkan bahwa Gen-Z memiliki keinginan besar untuk terlibat dalam politik di Indonesia. Namun, pemahaman akan politik dirasakan mereka sangat minim.
Karena itu, para Gen-Z berupaya melakukan pencarian mandiri atau self-learning di media sosial. Temuan ini pun mengonfirmasi temuan dari UMN Consulting.
Dari kedua riset di atas, baik kuantitatif maupun kualitatif, dapat disimpulkan bahwa media sosial menjadi platform yang tepat untuk ‘menyasar’ para Gen-Z.
Namun, pertanyaan selanjutnya, format konten apa yang disukai Gen-Z? Media sosial apa yang tepat untuk Gen-Z? Bagaimana strategi atau pendekatan yang tepat untuk menyasar para Gen-Z?
Berdasarkan data dari Sprout Social Index, Gen-Z lebih menyukai konten dalam format video dan gambar. Konten berupa teks tetap memiliki tempat, tapi sajiannya harus dalam visual serta tidak panjang.
Terkait platform media sosial, beberapa penelitian terdahulu secara garis besar menyimpulkan empat platform utama yaitu Instagram – untuk membangun percakapan melalui konten visual; YouTube – untuk membangun percakapan dan kepercayaa; Twitter – untuk percakapan teks yang tidak terlalu panjang; dan TikTok – percakapan dengan daya hibur berdurasi pendek.
Dalam rangka menyasar Gen-Z, partai politik perlu berpikir selayaknya digital nomaden. Gen-Z tidak pernah ‘loyal’ di satu media sosial, melainkan berpindah mengikuti tren.
Manakala berbicara tentang media sosial, perlu pula menyinggung soal influencer atau selebgram. Dalam konteks teori, mereka dapat dikategorikan sebagai opinion maker. Para influencer ini terlepas dari jumlah pengikutnya (dari mega influencer hingga nano influencer) tetap memiliki potensi untuk mempersuasi.
Gen-Z sangat memperhatikan pengaruh sosial dan lebih cenderung memercayai rekomendasi dan dukungan dari orang-orang yang mereka anggap sebagai panutan. Karena itu, politisi dan partai politik dapat memanfaatkan pengaruh sosial untuk mendapatkan dukungan dari Gen-Z dengan bekerja sama dengan selebriti, influencer, atau tokoh populer level lokal maupun nasional.
Baca juga: 5 Kebiasaan Gen Z Saat Belanja, Sangat Berbeda dengan Generasi Lain
Salah satu poin penting lainnya dalam menyasar Gen-Z adalah penggunaan bahasa dan gaya yang relevan dengan mereka. Gen-Z lebih cenderung menanggapi pesan yang disampaikan dengan bahasa dan gaya yang lebih santai dan relevan dengan kehidupan mereka.
Para politisi dan partai politik harus menyampaikan pesan politik mereka dengan bahasa yang mudah dipahami Gen-Z dan menggunakan gaya yang sesuai dengan budaya populer saat ini.
Terlepas dari media sosial, para Gen-Z saat ini cenderung menyukai dan menikmati gim online.
Dalam pandangan saya, komunikasi politik akan selalu bergerak dari platform ke platform. Platform gim juga tidak lepas dari komunikasi politik.
Sebagai contoh, Presiden Joe Biden dalam kampanye Pilpres Amerika Serikat (AS) ketika berhadapan dengan Donald Trump, menjangkau suara Gen-Z di AS dengan masuk ke gim Fortnite.
Di gim tersebut, ada satu peta khusus yang berisi slogan dan pesan-pesan kampanye. Tujuannya adalah agar Gen-Z yang gemar bermain gim dapat menikmati permainan sekaligus terpapar (secara sadar maupun alam bawah sadar) pesan politik untuk memilih Biden.
Sejatinya, perkawinan antara gim dan politik sudah pernah terjadi di Pilgub DKI 2017 ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang merupakan petahan maju sebagai calon. Gim itu bernama Pejuang Ahok. Namun, gim itu lebih condong pada ranah edukasi politik.
Saat ini, hal yang diutamakan dalam perkawinan gim dan politik adalah sisi politaintment, upaya masif secara tersirat untuk menyebarluaskan pesan politik tertentu.
Oleh karena itu, jangan kaget apabila di 2024, bisa saja ada foto capres-cawapres tertentu di gim yang laris manis di Indonesia.
Patut digarisbawahi, gim dapat menjadi alat yang efektif untuk memfasilitasi komunikasi politik dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang proses politik dan tata kelola pemerintahan. Namun, perlu diingat bahwa permainan tersebut hanya dapat memberikan gambaran umum dan terkadang terlalu mensimplifikasi isu atau topik politik yang kompleks dan bervariasi.
Dari penjelasan di atas, dapat dideduksi bahwa konteks komunikasi politik yang terjadi saat ini menitikberatkan pada paradigma pemasaran. Artinya, Gen-Z (dan bisa saja para pemegang hak suara) dipandang sebagai obyek politik yang diperebutkan.
Isu-isu politik yang berkembang sejauh ini, berbicara pada tatanan elite yakni soal partai mana yang akan berkoalisi. Koalisi ini juga ada tendensi berbicara soal persentase pemenuhan ambang batas pencalonan presiden. Kemudian, isu soal koalisi akan berimplikasi pada siapa tokoh capres cawapres yang akan diusung.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Pemilih Gen Z Cenderung Tak Ingin Golput di Pemilu 2024
Lantas, bagaimana dengan penawaran program? Komunikasi politik bergaya pemasaran saat ini mereduksi para pemegang hak suara, bukan lagi jadi konstituen tapi sekadar obyek semata. Suaranya hanya diperebutkan di masa pemilu.
Maka dari itu, partai maupun politisi lebih menerapkan manajemen citra politik agar lebih bisa ‘terjual’ di mata publik.
Menuju hiruk pikuk Pemilu 2024 yang diprediksi akan tetap bergairah, sudah saatnya komunikasi politik mengurangi paradigma pemasarannya dan lebih mengedepankan fungsinya sebagai wadah edukasi politik. Gen-Z harus diberi pemahaman bahwa politik bukan sekadar memilih di pemilu dan selesai.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.