SELAMA lebih dari 10 tahun terakhir, konflik di Laut China Selatan terus menjadi sorotan. Terutama, ketika China membangun pulau-pulau ‘buatan’ di tengah Laut China Selatan.
Bahkan, dalam waktu kurang dari dua tahun, China telah mengubah tujuh karang menjadi tujuh pangkalan militer, menjadikan Laut China Selatan sebagai salah satu wilayah laut paling kontroversial di dunia.
China, begitu pula rivalnya Amerika Serikat memang sangat berkepentingan dengan kawasan tersebut. Pasalnya, kawasan tersebut diperkirakan mengandung 11 miliar barel minyak, 190 triliun kaki kubik gas alam, dan 10 persen sumber daya perikanan dunia.
Lebih penting lagi, sekitar 30 persen dari perdagangan maritim global melewati Laut China Selatan dalam perjalanannya menuju pelabuhan-pelabuhan di perdagangan penting di Asia Tenggara.
Selain itu, bagi negara-negara di sekitarnya, Laut China Selatan adalah sumber makanan utama, menyumbang 8 persen dari total produksi perikanan komersial dunia.
Kawasan ini bertanggung jawab memberi makan banyak negara berpenduduk terbesar saat ini, mulai dari 270 juta orang Indonesia hingga 1,4 miliar warga China. (Congressional Research Service, 2021).
Berkat aspek-aspek ini, Laut China Selatan menjadi wilayah maritim yang diperebutkan oleh lima negara, yaitu Filipina, Vietnam, China, Brunei, Taiwan, dan Malaysia.
Indonesia juga terbawa dalam masalah ini karena sebagian wilayah laut Indonesia juga diklaim China sebagai miliknya juga.
Konflik utama di Laut China Selatan dimulai pada tahun 1279, ketika China menggambar peta teritorial pengaruhnya yang mencakup seluruh Laut China Selatan.
Sejak saat itu, kendali atas wilayah tersebut telah berpindah tangan antara kekuatan regional kemudian negara kolonial.
Namun, kebanyakan orang setuju bahwa sebagian besar masalah saat ini berasal dari Perjanjian San Francisco 1951, yang menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Dalam syarat penyerahannya, Jepang menyerahkan haknya atas pulau-pulaunya di Laut China Selatan, meninggalkan kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut.
Tidak ada negara yang secara eksplisit diberikan kedaulatan atas perairan ini, dan China (Pemerintah Kuomintang) menegaskan keunggulannya dengan mengajukan klaim "Garis Sembilan Titik" (Nine-Dash Line) yang sekarang terkenal dengan cakupan hampir seluruh Laut China Selatan pada tahun 1947.
Pada 1982, hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Tepat setelah itu, China menegaskan kembali Garis Sembilan Titiknya, menolak untuk mengklarifikasi batas garis ini, dan menolak klaim negara penggugat lainnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.