JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan perubahan substansi putusan yang terbukti dilakukan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah adalah hal yang lazim dinilai janggal.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, tidak seharusnya substansi putusan diubah tanpa sepengetahuan hakim konstitusi lainnya melalui mekanisme Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
"Sidang MKMK juga agak janggal jika bicara soal bahwa koreksi adalah lazim kalau diketahui seluruh hakim. Ini kan tidak lazim karena tidak diketahui oleh seluruh hakim," kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/3/2023).
"Kenapa kalimatnya harus mengedepankan kata lazim? Padahal kan harusnya ini tidak lazim karena tidak diketahui oleh seluruh hakim," lanjut dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Baca juga: Proses di MKMK Beres, Jokowi Diminta Izinkan Hakim MK Diperiksa Polisi
Sebelumnya diberitakan, selain menjatuhkan sanksi teguran tertulis bagi Guntur, MKMK menyatakan perubahan substansi putusan usai pengucapan lazim terjadi di MK.
Menurut Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna, perubahan substansi putusan hal wajar asalkan hal itu dapat diterima dan disetujui 8 hakim konstitusi lain.
Akan tetapi, dalam kasus itu MKMK tak menemukan adanya upaya dari Guntur meminta persetujuan kepada delapan hakim konstitusi lain atau setidak-tidaknya hakim drafter dalam perkara tersebut.
Yang terjadi, para hakim konstitusi, minus Arief Hidayat, baru mengetahui perubahan substansi ini pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) setelah pemberitahuan dari panitera.
Baca juga: MKMK: Tiada Persekongkolan pada Pelanggaran Etik Guntur Hamzah
"Majelis Kehormatan berpendapat bahwa persetujuan demikian tidak pernah terjadi bahkan tidak pernah dimintakan selain kepada hakim Arief Hidayat," kata Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam sidang pembacaan putusan etik, Senin (20/3/2023).
Feri menilai keputusan MKMK yang menyatakan perubahan substansi putusan usai pembacaan lazim hanya upaya supaya kesalahan yang dilakukan Guntur dinilai tidak terlampau berat.
"Bagi saya kalimat-kalimat seperti ini memang adalah kalimat untuk memperhalus kesalahan," ujar Feri.
Feri juga menilai seharusnya MKMK tidak hanya menjatuhkan sanksi kepada Guntur. Sebab menurut dia, proses mengubah substansi putusan melibatkan berbagai pihak lain.
"Ya tidak hanya satu hakim yang bisa dikatakan terlibat untuk mengubah putusan ini. Ada beberapa dan harus dilihat juga, misalnya panitera, begitu terlibat kok kemudian tidak ikut diberi sanksi," ucap Feri.
Menurut pemberitaan sebelumnya, MKMK juga menyoroti bahwa kasus pelanggaran etik ini terjadi pada hari pertama Guntur bertugas sebagai hakim konstitusi, yaitu 23 November 2022, menyusul pencopotan sepihak eks hakim konstitusi Aswanto secara inkonstitusional. Guntur, yang sebelumnya merupakan Sekretaris Jenderal MK, baru dilantik pagi itu.
Akan tetapi, MKMK tidak mengantongi bukti cukup kuat untuk mengonfirmasi dugaan motif Guntur mengubah substansi putusan demi mengafirmasi keabsahan pengangkatan dirinya sebagai hakim konstitusi.
MKMK menilai ada beberapa hal yang memberatkan sehingga Guntur dianggap layak disanksi.
Pertama, tindakan Guntur terjadi saat publik belum reda menyoal isu keabsahan pemberhentian Aswanto, dan memunculkan spekulasi upaya untuk menyelamatkan diri walau hal itu tidak didukung bukti kuat.
Kedua, Guntur seharusnya bisa mencegah tindakannya itu karena ia belum jadi hakim saat perkara diputus oleh RPH pada 17 November 2022.
Baca juga: DPR Harusnya Malu, Hakim MK yang Mereka Tunjuk Langgar Etik 6 Jam Usai Dilantik
Ketiga, Guntur sebagai hakim anyar yang ikut bersidang seharusnya bertanya soal tahapan perubahan putusan.
Di sisi lain, MKMK menilai ada beberapa hal meringankan bagi Guntur.
Pertama, Guntur dianggap berani bersikap transparan kepada MKMK dan mengakui perbuatannya mencoret serta mengubah frasa dalam putusan itu.
Kedua, MKMK menyoroti bahwa praktik sebagaimana terjadi dalam kasus Guntur sebetulnya merupakan hal lazim sepanjang beroleh persetujuan para hakim lain dan tidak dilakukan diam-diam.
Ketiga dan keempat, belum terdapat prosedur baku atas kelaziman di atas, dan MK dinilai lamban merespons tindakan Guntur yang sebetulnya sudah mereka ketahui beberapa hari setelahnya.
Baca juga: Jokowi Digugat ke PTUN soal Guntur Hamzah Jadi Hakim Konstitusi
MKMK berpendapat, jika MK bergerak cepat, persoalan ini tak perlu berlarut-larut, menimbulkan kontroversi, dan bahkan MKMK mungkin tak perlu dibentuk.
"Sesungguhnya telah diketahui oleh beberapa orang Hakim dan telah sejak awal diakui oleh Hakim terduga serta telah pula diberitahukan kepada panitera untuk dibicarakan dalam RPH," kata Palguna.
"Namun RPH dimaksud tidak pernah dilaksanakan dengan alasan yang lebih bersifat teknis psikologis," ujarnya.
(Penulis : Vitorio Mantalean | Editor : Bagus Santosa)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.