DI SAAT sebagian besar masyakat kita masih “berjibaku” mencari penghasilan agar kebutuhan makan, menyekolahkan anak dan mengangsur aneka cicilan terpenuhi, lagak dan lagu sebagian pejabat begitu memuakkan.
Anak-istri mereka begitu “gatal” memamerkan hartanya yang berlimpah di media sosial. Seakan membanggakan raihan kerja keras suami atau ayahnya – entah sangking kerasnya bekerja atau sangking rajinnya “menilep” uang rakyat – mereka pamer dengan baju-baju mahal, kendaraan mewah, perjalanan mahal ke luar negeri hingga rumahnya yang bertabur harta.
Pagi buta, Fadil yang masih berusia 10 tahun harus berjuang menjadi buruh angkut di Pelelangan Ikan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Di saat teman-teman seusianya masih terlelap dalam tidur, Fadil merasa terpanggil untuk meringankan beban orangtuanya.
Sebelum masuk sekolah siang di kelas 4 SD, Fadil menawarkan tenaganya untuk bekerja serabutan. Mulai dari memasukkan ikan ke dalam boks, menawarkan jasa angkut kantongan ikan, hingga menawarkan ikan hasil upahnya.
Rata-rata Fadil memperoleh penghasilan Rp 20.000-Rp 30.000. Angka yang lumayan untuk membantu kehidupan keluarganya yang miskin (Kompas.com, 17/03/2023).
Andai saja Fadil adalah anak kandung bekas Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo tentu kehidupannya akan berbeda.
Memiliki motor besar, pamer dengan mobil Jeep Wrangler Rubicon, atau bergaya di perumahan di Manado, Sulawesi Utara yang sahamnya dipunyai ibunya, restoran besar di Jogya atau safe deposit ayahnya yang menampung puluhan miliar rupiah uang kontan dalam bentuk dollar Uwak Sam.
Fadil yang hidup dalam kemiskinan harus bangga, perjuangannya membantu meringankan beban keluarga adalah ibadah.
Justru limpahan harta yang diterima Mario Dandy Satrio, membuat kehidupannya “blangsak” dan aset orangtuanya yang “bejibun“ dan ditutup rapat-rapat menjadi terbuka sehingga diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK.
Outfit berharga puluhan juta rupiah dan plesiran ke negeri jiran dengan fasilitas penerbangan premium, pasti akan dinikmati Fadil. Belum lagi Fadil bisa tidur pulas dan tidak perlu bangun pagi di rumah mewah Legenda Wisata, Cibubur, Jawa Barat.
Harus diakui, keberadaan media sosial saat ini begitu “powerfull”. Selain memberikan dampak positif, medsos juga dapat berdampak negatif. Media sosial kini menjadi alat yang ampuh bagi penegakkan good governance.
Kerja KPK menjadi “diringankan” akibat laporan aktif dari netizen yang di-blow up media. Malah Wakil Ketua KPK Alexander Marwata meminta bantuan netizen untuk menelusuri kekayaan tidak wajar yang dimiliki para pejabat.
Masyarakat dan media sangat berperan dalam membuat takut para pejabat bertindak macam-macam (Tribunnews.com, 1 Maret 2023).
Fenomena flexing dari keluarga jajaran pegawai Pajak dan Bea Cukai, misalnya, kini juga menyasar abdi negara yang bertugas di Kementerian Sekretariat Negara, Sekretaris Daerah Provinsi Riau bahkan pegawai KPK sendiri.
Secara sederhana, flexing adalah perilaku pamer harta kekayaan. Kalau sebelumnya tindakan pamer tersebut dianggap tidak pantas dan harus ditutup dengan rapat, tetapi dengan adanya media sosial membuat flexing menjadi fenomena umum.
Kegatalan tangan orang dalam memamerkan hartanya di media sosial, baik dalam bentuk barang-barang mahal maupun kehidupan yang glamour lainnya menjadi santapan netizen.
Kejengahan publik akan perilaku koruptif para abdi negara, setelah sebelumnnya dipantik dari kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, membuat gerakan antiflexing para pejabat menjadi bentuk perlawanan publik dan media.
Dengan mengatasnamakan melindungi produk usaha mikro kecil dan menengah/UMKM, industri tekstil dalam negeri serta dampak kesehatan, pemerintah mempertegas kembali larangan impor baju bekas secara ilegal.