KITA tentu sepakat jika dewa ataupun dewan tidak luput dari cobaan. Sebagai individu yang terbatas, cobaan datang silih berganti dengan berbagai kondisi dan narasi.
Apa lagi dalam dunia politik yang mengharuskan seseorang memiliki mental tangguh untuk dapat bertahan dari kerasnya politik praktis.
Terlebih lagi dinamika politik di negara yang mayoritas banditnya lebih berkuasa daripada rakyat.
Dosa dan dogma menjadi narasi indah untuk membungkus politik transaksional di tanah air. Tujuannya untuk berkuasa agar pamor, harta, dan ketamakan bertemu dalam satu meja dan makan bersama. Tidak peduli derita rakyat yang perutnya kosong sembari menunggu jatah makan gratis.
Bagi sebagian penggila ketamakan, menjadi pemimpin hanya sekadar mengumpulkan pundi-pundi kekuasaan dan harta. Fenomena ini menjadi frame kemunduran betapa politik kita hari ini begitu kabur. Hidup dengan glamor di atas karpet kesengsaraan rakyat.
Salah satu indikasi mengapa demokrasi kita berjalan lambat, karena elite politik menderita megalomania.
Megalomania adalah bentuk gangguan mental yang menyebabkan penderitanya merasa paling berkuasa, memiliki kekuatan, dan statusnya paling tinggi daripada yang lain.
Pastinya ganguan mental ini berdampak pada kualitas demokrasi. Primus Inter Pares akhirnya hanya konsep di ruang pustaka. Namun praktiknya orang dipilih, meskipun dari rakyat, akan merasa paling hebat daripada yang lain. Tampilan sosialis hanyalah kepalsuan untuk menipu. mata publik.
Menjelang 2024, kita melihat dengan seksama para calon elite politik mendadak baik. Semakin ramah dan sangat sosialis ketika berkanjang ke tempat-tempat warga. Budaya ini selalu saja dibangun setiap mendekati pemilu.
Ada yang baik dengan amplop, ada juga yang baik karena status sosialnya, dan ada yang baik karena pencitraan.
Prinsipnya adalah kebaikan ketika menjelang pemilu adalah kebohongan yang tertunda. Publik diberikan fantasi-fantasi idealisme, meskipun politisi itu sendiri tahu bahwa ruangan dewan tidak sesederhana itu.
Banyak kepentingan dipertaruhkan di situ. Banyak juga ambisis yang bersaing untuk pemenuhan isi perut. Korbannya adalah warga negara yang silau akan sikap mendadak baik seorang politisi.
Politikus hanya butuh beberapa bulan saja bergerak layaknya seorang “pengemis”. Kemana-mana minta suara dan dukungan. Namun ketika terpilih, terbukalah topeng palsu itu.
Ketika itu terjadi rakyat menjadi “pengemis” untuk meminta perhatian pembangunan dan kesejahteraan.
Sangat miris sekali jika melihat demokrasi dipertaruhkan untuk menunjukan siapa yang paling berkuasa. Padahal demokrasi itu adalah memilih dari orang-orang yang setara. Bukan memilih orang-orang yang paling berkuasa.
Anehnya lagi, watak demokrasi kita saat ini jatuh dalam roda transaksi liberal. Amplop menjadi jembatan penghubung untuk mencairkan suasana relasi antara elite dan publik.
Susahnya lagi rakyat kita justru memberikan kapret merah terhadap model politik transaksional seperti ini.
Pertanyaannya kemudian, apakah sistem ini sengaja dibangun oleh negara atau hanyalah dampak dari reformasi kita yang terlalu terburu-buru?
Tentu refleksi ini tidak bisa dibaca hanya menggunakan kaca mata kuda. Reformasi sebenarnya kado istimewa yang lahir dari perjuangan aktivis saat itu.
Harapannya tentu terbebas dari rezim totaliter, bukan untuk bebas secara finansial. Tetapi toh, perjuangan idealisme itu akhirnya buram ketika parpol adalah jalan satu-satunya menuju singgasana.
Jelas bahwa, meskipun idealisme diperjuangkan, tetapi di sisi lain harus ada kepentingan parpol yang diselibkan dalam berbagai transaksi.
Selain itu, budaya konsumtif yang berkembang dengan pesat pascareformasi membuat praktik korupsi merajarela dari tingkat nasional sampai daerah.
Prinsipnya demokrasi itu konsep yang baik. Tetapi konsep luar biasa ini sulit diterjemahkan secara teknis dan praktis. Ini terjadi karena hampir setiap politisi memilki definisi berbeda tentang demokrasi.
Demokrasi didefinisikan sesuai dengan kebutuhan politisi dan parpol, sehingga pemaknaannya menjadi luas, tetapi tidak dalam. Kedalam itulah yang hari ini belum nampak dalam praktik demokrasi kita.
Dan tentu berdampak besar kepada pelaksanaan pesta demokrasi kita setiap lima tahun.
Kita butuh referensi dasar untuk memperbaiki logika kita. Agar bisa sadar tidak hanya secara akademis tetapi juga moraldan etis untuk memperbaiki sistem demokrasi kita yang perlahan menggrogoti Nasionalisme hari ini.
Ketamakan dan kerakusan merupakan ketakutan terbesar dari demokrasi yang dipraktikan hari ini. Kekwatiran itu muncul dari realita publik yang melihat menjadi politisi itu merupakan jenjang karir. Padahal menjadi politisi itu sebenarnya hal yang tidak mudah.
Karena banyak tanggung jawab rakyat yang diperjuangkan. Justru politik kita hari ini lebih memperkuat budaya itu.
Misalnya, muncul dinasti politik yang mendewakan keluarga sebagai basis pengambilan keputusan publik.
Tentu publik dan private adalah dua hal yang berbeda, tidak bisa disatukan. Bagaimana mungkin seorang pejabat publik membuat kebijakan hanya karena kecintaan dirinya kepada anak atau istri.
Itu sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam konteks mengelola negara menggunakan perspektif publik.
Makanya, menjadi pejabat bukan hal sepele yang hanya menerima tunjangan tiap akhir bulan. Namun ada integritas, wisdom, kecerdasan, moral dan etika yang dipertaruhkan.
Munculnya banyak “raja lokal” sebagai buah busuk dari pohon demokrasi tentu merupakan kecelakaan nyata di depan mata.
Kesetaraan akhirnya dipandang hanya untuk privilege buat kalangan bangsawan. Bagi rakyat yang tidak memilki trah, tentu tidak ada makan siang yang diberikan.
Raja lokal atau orang kuat lokal ini yang kemudian memainkan perilaku megalomania di tingkat akar rumput.
Kolaborasi antara ketamakan dan kekerasan terjadi hampir di setiap daerah ketika menjelang pemilu. Rumah dibakar, diasingkan karena pilihan berbeda, tidak mendapat bantuan sosial merupakan asam garam yang terus – menerus dinikmati masyarakat.
Salahnya apa sehingga rakyat disiksa dengan politik transaksional ini? Hanya karena kekuasaan orang bisa berubah menjadi megalomaniak dan memotong kebutuhan hidup orang banyak.
Sejak dulu, demokrasi itu dibuatkan oleh rakyat dan seharusnya dinikmati oleh rakyat. Sebagai warga negara, kita punya hak untuk mengembalikan demos dan kratos ini kejalan yang seharusnya.
Suara-suara kritis tidak patut lagi dibungkam karena itu merupakan teriakan penderitaan dari rakyat yang tersiksa oleh watak megalomaniak politik hari ini.
Meskipun begitu, kritisisme itu perlu diwadahi juga dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menambah kekuatan argumentasi dalam membantah kebijakan pemerintah. Karena kebebasan tidak cukup tanpa kecerdasan.
Apa pun polemiknya, orang Indonesia adalah manusia yang luar biasa. Ketabahan dan kekuatan menyatu dalam setiap pribadi individu-individu.
Sejak dulu, kita adalah bangsa yang kokoh dan kuat. Kita percaya bahwa kebaikan politik itu tidak hilang, tetapi hanya beristirahat sejenak.
Satu kali kelak akan muncul dengan wajah yang berseri-seri dan memeluk megalomaniak dengan hangat sambil berkata “apakah kamu tidak lelah, istirahatlah dulu”.
Mungkin ini adalah cobaan bagi kita melawan praktik-praktik jahat di republik ini. Tentu bukan kita seorang saja, pasti ada beberapa individu-individu hebat yang berjuang menegakan kebenaran dan keadilan di republik ini.
Bukankah setiap zaman selalu melahirkan individu-individu untuk menjaga tetap tegaknya sayap Garuda. Denken ist danken, berpikir adalah bersyukur. Bersyukur hidup di negara hebat ini dan bertindak untuk memperbaiki berbagai kerusakan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.