PENULIS sering membaca tulisan, baik unggahan netizen maupun kolom komentar di media sosial yang intinya menyatakan suburnya tindakan kekerasan di Papua akibat berlakunya rezim HAM di Indonesia.
HAM dianggap menyebabkan aparat penegak hukum menjadi terbatas ruang geraknya untuk memberantas Kelompok Sipil Bersenjata (KSB).
Dengan kata lain, HAM dituduh sebagai biang kerok banyaknya kekerasan di tanah Papua. Begitulah kira-kira argumentasi yang coba dibangun.
Lalu apakah benar dalil tersebut? Penulis ingin menguraikan fakta-fakta menggunakan pendekatan sejarah, komparasi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara holistik guna menguji apakah benar argumentasi yang coba dibangun tersebut.
Deklarasi HAM yang saat ini dikenal dan menjadi pedoman seluruh bangsa beradab ialah lahir pada 10 Desember 1945. Kelahirannya muncul karena kekejaman yang luar biasa ekses dari Perang Dunia 2 yang merenggut jutaan korban.
Mengapa korban luar biasa dapat muncul? Tiada lain karena sangat timpangnya kedudukan antara negara dan warga negara.
Dengan jargon nasionalisme dan patriotisme, dan dilegalisasi dengan hukum yang berlaku guna mengikuti wajib militer, warga negara dipaksa menjadi tentara masing-masing negara yang bertikai. Hasilnya 60 juta nyawa manusia melayang di medan perang.
Meskipun masing-masing negara membangun narasi kepahlawanan, misalnya jutaan prajurit yang gugur dilabelisasi “Pahlawan Nasional”, “Patriot Negara”, “Pejuang Bangsa”, dan lain sebagainya, namun dalam rezim hak asasi manusia, narasi tersebut tidak penting sama sekali apabila yang menjadi korban, misalnya, anak-anak muda yang dipaksa mengikuti wajib militer dan dikirim ke medan perang (lihat kisah para pemuda Jerman mengikuti perang saat Perang Dunia 1 di Front Barat atau para pemuda Rusia yang saat ini dipaksa bertempur di Ukraina).
Sehingga apabila mengkaji HAM, mau tidak mau harus menganalisis juga hubungan antara negara dengan warga negara.
Karena, tujuan rezim hak asasi manusia ialah mencoba membatasi kekuasaan negara dengan cara menjunjung tingginya hak-hak asasi manusia secara individu.
Ciri khas orde baru ialah kekuatan yang sangat sentralistik di tangan eksekutif dalam hal ini presiden. Legislatif yang seyogyanya mengawasi pemerintahan dibuatnya tidak berdaya akibat UUD 1945 memberikan kekuasaan sangat besar kepada presiden.
Dengan kata lain, check and balances tidak terjadi. Hal tersebut tidak lain karena anggapan patronase bahwa pemerintah adalah bapak, sedangkan rakyat adalah anak-anaknya yang perlu dididik. Alhasil, tidak ada kedudukan yang setara antara negara dengan warga negara.
Padahal, adigium terkenal dalam ilmu politik telah sangat jelas menyatakan bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Dengan kata lain, kekuasaan yang tidak terbatas pasti melahirkan suatu kesewenang-wenangan.
Konsep bapak yang dianggap dapat mendidik anaknya, malahan menyiksa anaknya hingga beberapa di antaranya meninggal dunia dengan legitimasi untuk “memberi pelajaran” bagi anak-anak yang lainnya, begitulah “didikan” yang ideal bagi orde baru.
Pada intinya, penulis ingin mengatakan bahwa rezim hak asasi manusia sangat lemah pada rezim orde baru. Belum ada mekanisme penegakan dan pengawasan HAM yang ideal saat itu. Sehingga banyak peristiwa pelanggaran HAM.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.