JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Bidang Kesatuan Bangsa Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Janedri M Gaffar menekankan bahwa hingga saat ini, belum ada aturan secara khusus yang mengatur mengenai politik identitas, namun dia meminta masyarakat agar menghindari yang namanya politik identitas.
Hal tersebut Janedri sampaikan saat menghadiri acara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertajuk Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Hotel Novotel, Tangerang, Selasa (28/2/2023).
"Pengaturan secara khusus tentang politik identitas memang sampai saat ini belum ada. Itu yang kita perlu pahami bersama," ujar Janedri.
"Nah, politik identitas itu boleh atau enggak? Itu yang harus kita hindari bersama. Politik identitas itu berbeda dengan identitas politik," sambungnya.
Baca juga: Kontroversi soal Politik Identitas dan Masjid Berlanjut, Partai Ummat Ingin Temui Bawaslu
Janedri memaparkan, masyarakat Indonesia memiliki banyak preferensi politik, di mana salah satunya adalah agama. Jika seseorang beragama Islam, maka biasanya orang itu memilih identitas politiknya sebagai Islam.
Hal serupa bisa terjadi apabila orang itu memiliki agama atau suku yang berbeda dalam menetapkan preferensi politik masing-masing.
"Jadi identitas politik itu beda dengan politik identitas. Preferensi politik menjadi hak individu masyarakat. Preferensi politik masyarakat berdasarkan identitas apakah itu agama, suku, bahasa, daerah, itu menjadi hak individu bapak/ibu semua," tutur Janedri.
Kemudian, Janedri mewanti-wanti apabila preferensi politik dijadikan komoditas politik dengan menggunakan black campaign dan negative campaign, maka hal tersebut harus dihindari bersama-sama.
Menurutnya, politik identitas itu berbahaya bagi persatuan dan kesatuan Indonesia.
"Sekalian saya menjawab tentang politik identitas. Ini bahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa," katanya.
Baca juga: Partai Ummat Ingin Dialog dengan Bawaslu, Jelaskan Maksud Usung Politik Identitas
Sementara itu, kata Janedri, politisasi agama juga perlu diwaspadai seperti politik identitas. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah politik identitas dan politisasi agama dilarang di Indonesia? Janedri mengakui kalau belum ada aturan yang jelas mengenai itu.
"Sama-sama tidak ada pengaturannya secara jelas, tegas di dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada. Tapi terkait money politics, black, dan negative campaign ada aturannya. Itu juga harus kita hindari," jelas Janedri.
Maka dari itu, Janedri meminta kepada semua pihak untuk tidak mempolitisasi agama untuk memperoleh dukungan dalam kontestasi pemilu.
"Jangan agama dipolitisasi untuk mengapitalisasi perolehan dukungan suara dalam pemilu dan pilkada, apalagi dengan menggunakan cara-cara negative campaign, black campaign, rusak negara ini bapak/ibu," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.