JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Uji materi tersebut menyoal empat pasal dalam KUHP yang mengatur tentang penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, serta penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Mahkamah beralasan, pihaknya menolak uji materi tersebut lantaran gugatan para pemohon bersifat prematur.
"Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para pemohon adalah permohonan yang prematur," kata Hakim Mahanan MP Sitompul dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2023).
Baca juga: MK Tolak Uji Materi KUHP soal Koruptor Dihukum 2 Tahun Penjara
Mahkamah menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 2023 baru berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan tepatnya 2 Januari 2026.
Sementara, gugatan terhadap UU tersebut dimohonkan ke MK pada 9 Januari 2023.
Artinya, ketika pemohonan uji materi terhadap KUHP diajukan, UU Nomor 1 Tahun 2023 belum berlaku dan belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Padahal, dalam gugatannya para pemohon beralasan bahwa mereka bakal dirugikan atas berlakunya ketentuan KUHP.
"Dengan demikian, undang-undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada para pemohon," ujar Manahan.
Menurut Mahkamah, para pemohon juga tidak memberikan bukti yang cukup dalam gugatannya.
Pemohon dinilai tak mampu membuktikan dalil mereka yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dan pekerjaannya terancam akibat berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2023.
Seandainya pun anggapan kerugian itu dikaitkan dengan KUHP yang saat ini berlaku, menurut Mahkamah, para pemohon tidak memberikan cukup bukti tentang aktivitas mereka yang terancam atas berlakunya KUHP, khususnya pasal yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik presiden dan lembaga negara.
"Karena sesungguhnya KUHP yang berlaku saat ini pun dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal-pasal KUHP yang masih berlaku, masih mengatur bentuk perlindungan terhadap presiden wakil presiden pemerintah maupun lembaga negara dari penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana perlindungan terhadap hak-hak warga negara," kata Manahan.
Baca juga: Masa Percobaan 10 Tahun di KUHP Baru, Celah Ferdy Sambo Lolos dari Eksekusi Mati?
Atas sejumlah pertimbangan tersebut, Mahkamah menyimpulkan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi UU Nomor 1 Tahun 2023.
Dengan demikian, dalil para pemohon dalam perkara ini tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tak ada relevansinya.
"Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Hakim Anwar Usman.
Adapun uji materi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP diajukan oleh sejumlah akademisi, mahasiswa, dan konten kreator.
Para pemohon mempersoalkan empat pasal dalam KUHP yakni Pasal 218 Ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1).
Pasal 281 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Baca juga: Mahfud MD: Hukuman Sambo Bisa Berkurang Berdasarkan KUHP Baru, tetapi Itu Tak Penting
Lalu, Pasal 219 menyatakan, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan/atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Sementara, Pasal 240 Ayat (1) mengatur, "Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".
Terakhir, Pasal 241 Ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan keempat pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.