SURVEI Litbang Kompas yang dilansir secara serial mulai Senin (20/2/2023) hingga Rabu (22/2/2023), menegaskan satu hal, yaitu partai politik saat ini masih tak lebih dari sekadar "idol club".
Prediksi perolehan suara partai politik terlalu rentan bergoyang oleh kandidat yang hendak diusung dalam kontestasi presiden, selain ketergantungan pada figur tertentu yang diasosiasikan dengan partai tersebut.
"Pada ujung akhirnya, partai hanya jadi 'idol club', tidak ada yang mampu menggerakkan, tidak ada yang berjualan ide," kecam peneliti Institut Riset Indonesia (Insis), Dian Permata, dalam percakapan dengan Kompas.com, Sabtu (25/2/2023).
Baca juga di Kompas.id: Survei “Kompas”: Narasi Politik Pengaruhi Elektabilitas Parpol
Tren prediksi perolehan suara jika pemilu digelar pada hari ini, lanjut Dian, tidak bisa dipisahkan dari momentum sosial politik yang bersifat alamiah dan perekayasaan ulang alias reengineering isu sosial politik.
"Jika sebuah partai politik melakukan blunder politik, imbasnya adalah pada elektabilitas partai politik. Makin besar skala blunderya, imbasnya juga berkepanjangan," ujar Dian.
Baca juga: Simulasi Head to Head Survei Litbang Kompas: Ganjar Ungguli Prabowo, Selisih 13,4 Persen
Blunder itu juga akan mencakup laku personal kader partai. Bakal mengkhawatirkan bagi partai politik, ungkap Dian, ketika blunder ini dikapitalisasi demi keuntungan partai politik tertentu.
Adapun terkait sebutannya soal "idol club" bagi partai politik, Dian mengurai contoh bahwa hasil Pemilu 1999 tak dapat dipisahkan dari euforia masyarakat yang mengarah pada sosok Megawati Soekarnoputri. Ini yang menjadi mesin utama pendulang suara bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada saat itu.
Hal serupa juga terjadi pada dulangan suara bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Tak dapat dinafikan, kata Dian, perolehan suara PKB pada periode tersebut dipengaruhi karisma Gus Dur, panggilan penghormatan bagi Abdurrahman.
Baca juga: Simulasi Head to Head Survei Litbang Kompas: Prabowo Ungguli Anies, Dapat Suara Pemilih Ganjar
Pada periode berikutnya, ada figur Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Setali tiga uang, sosok Prabowo Subianto lekat pada hasil elektoral Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Menjelang Pemilu 2024, lanjut Dian, efek ekor jas—teori tentang hasil elektoral yang naik karena faktor figur—masih akan berlanjut. Selain dari sosok sentral di partai politik, figur yang diperkirakan berperan besar mendulang suara adalah kandidat yang diusung untuk kontestasi presiden.
Namun, tiga nama yang kini memuncaki prediksi elektabilitas bila pemilu digelar hari ini masih menyisipkan banyak catatan. Dian memberi contoh catatan untuk tiga kandidat dengan elektabilitas tertinggi berdasarkan hasil survei terkini Litbang Kompas.
Baca juga di Kompas.id: Survei Litbang ”Kompas”: Pilihan Capres Membayangi Penilaian Kinerja Pemerintah
Ganjar Pranowo, misalnya, saat ini punya mesin kekuasaan, mesin politik, dan mesin opini yang masih melekat. Dia masih menjadi Gubernur Jawa Tengah, berada di lingkaran PDI-P, yang keduanya dapat dipakai sekaligus sebagai mesin opini untuk mendulang citra melalui pemberitaan media massa.
Namun, lanjut Dian, Ganjar bukan tanpa persoalan.