JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) berpandangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja mesti dicabut karena belum disahkan menjadi undang-undang setelah DPR menutup masa sidang pada Kamis (16/2/2023) lalu.
Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi menyatakan, Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengatur bahwa perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Lalu, Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka perppu harus dicabut.
"Berdasarkan ketentuan tersebut, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) sudah harus dicabut karena masuk dalam kategori tidak mendapat persetujuan DPR," kata Fajri dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/2/2023).
Baca juga: Baleg DPR Setujui Perppu Cipta Kerja Dibahas Jadi UU, Airlangga: Beri Kepastian Hukum dan Manfaat
Ia menjelaskan, Perppu Cipta Kerja disahkan pada 30 Desember 2022 sehingga masa persidangan DPR yang terdekat dari pengesahan itu adalah Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 yang berlangsung pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023.
Namun, hingga DPR menutup masa sidang, lembaga tersebut belum mengambil keputusan untuk menyetujui atau menolak Perppu Cipta Kerja.
"Sehingga sampai Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 berakhir, Perppu Ciptaker belum mendapat persetujuan DPR," kata Fajri.
Fajri pun memandang persetujuan dalam panitia kerja yang dibentuk oleh Badan Legislasi DPR pada Rabu (15/2/2023) tidak dapat dianggap sebagai bentuk persetujuan DPR.
Baca juga: Anggota DPR Bantah Tukar Guling Revisi UU MK dengan Perppu Cipta Kerja
"Persetujuan tersebut belum dapat dikatakan sebagai suatu 'persetujuan DPR' karena keputusan tertinggi DPR secara kelembagaan ada pada Rapat Paripurna, bukan pada rapat Baleg," ujar dia.
Oleh karena itu, PSHK mendesak DPR dan pemerintah untuk mematuhi ketentuan konstitusi dan tidak memaksakan kehendak untuk tidak mencabut Perppu Cipta Kerja.
Di samping itu, PSHK juga mendorong DPR untuk menolak Perppu Cipta Kerja karena penerbitan perppu tersebut tidak memenuhi alasan 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' yang sudah dibatasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa penerbitan perppu harus memenuhi unsur objektif, yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Baca juga: DPR Kebut Pembahasan Perppu Cipta Kerja, Partai Buruh: Mereka Wakili Rakyat atau Pengusaha?
Kemudian, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai.
Serta, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
"Seharusnya DPR bersikap kritis dan menggunakan perannya untuk mengimbangi kekuasaan Presiden, mampu dan mau menolak Perppu Ciptaker karena tidak memenuhi batasan yang sudah digariskan MK dalam Putusan MK 138/PUU-VII/2009 tersebut," kata Fajri.
"Kegagalan atau keengganan DPR untuk menjalankan perannya ini semakin menguatkan kesan konsolidasi kekuasan yang menepikan kepentingan publik akan proses legislasi dengan partisipasi yang bermakna demi produk hukum yang menjawab kebutuhan publik secara luas," imbuh dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.