JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai, revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak urgen.
UU yang ada saat ini disebut masih sesuai dengan perkembangan hukum dan kekuasaan kehakiman di Tanah Air.
"Tidak ada urgensi sama sekali," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (17/2/2023).
Baca juga: Anggap MK Kerap Batalkan UU, DPR Revisi UU MK
Feri justru curiga bahwa revisi UU MK yang keempat kalinya itu bertujuan untuk memengaruhi independensi hakim konstitusi jelang Pemilu 2024. Apalagi, uji materi UU Pemilu tengah bergulir di MK.
Lewat revisi UU MK ini, boleh jadi DPR hendak menakuti hakim konstitusi supaya patuh terhadap kepentingan legislatif mengenai pengujian UU Pemilu.
"Dan juga berkaitan dengan sengketa pemilu yang mana putusan MK itu akan menentukan siapa yang akan jadi pemenang sengketa pemilu," ujar Feri.
Feri mengatakan, menjadi tugas MK untuk mengoreksi UU yang bertentangan dengan konstitusi, sekalipun UU tersebut produk DPR.
Oleh karenanya, revisi UU MK ini dinilai sebagai upaya terang-terangan untuk mengintervensi independensi hakim MK, sekaligus melawan konstitusi.
"Jika DPR melakukan ini, jelas ini upya terencana untuk mengendalikan MK di tengah upaya MK sedang memperbaiki diri," katanya.
Feri menambahkan, rencana revisi UU MK ini harus menjadi perhatian bersama agar hakim konstitusi tetap tunduk pada hukum, bukan ke DPR maupun pemerintah.
"Saya pikir karena masyarakat sipil lemah, maka DPR dan pemerintah menjadi sangat keterlaluan," tutur Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Sebelumnya diberitakan, Komisi III DPR RI mengusulkan revisi UU MK. Sedikitnya, ada empat poin yang bakal direvisi meliputi syarat batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, lalu unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK.
"Serta penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," kata anggota Komisi III DPR Habiburokhman saat rapat kerja bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (15/2/2023).
Baca juga: Pencopotan Aswanto Diperkarakan Ulang, Minta MK Tak Libatkan Guntur Hamzah dan Arief Hidayat
Habiburokhman mengungkapkan, ada sejumlah alasan yang mendasari pentingnya revisi UU ini.
Antara lain, karena terdapat sejumlah aturan yang dibatalkan oleh MK seperti Putusan Nomor 96/PUU-XVII/2020 tentang uji materi aturan masa jabatan hakim konsititusi dalam UU MK, serta Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022 tentang uji materi kekuasaan kehakiman yang diatur UU MK.
Menurut Habiburokhman, ketentuan di dalam UU MK yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kehidupan ketatanegaraan.
"Menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.