JAKARTA, KOMPAS.com - "Kejujuran, keberanian, dan keteguhan terdakwa dengan berbagai risiko telah menyampaikan kejadian sesungguhnya sehingga terdakwa layak ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama, justice collaborator, serta layak mendapat penghargaan."
Demikian bagian pertimbangan vonis terdakwa kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat, Richard Eliezer yang dibacakan hakim anggota Alimin Ribut Sujono dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023).
Status sebagai justice collaborator disetujui Majelis Hakim dan menjadi salah satu pertimbangan paling kuat untuk memberikan vonis ringan, yakni 1,5 tahun penjara kepada Richard.
Baca juga: Eliezer dan Rasa Keadilan Masyarakat
Status JC yang diberikan kepada Richard melalui proses perdebatan yang panjang.
Selama 18 pekan persidangan berlangsung, status itu sering diragukan.
Berulang kali pihak terdakwa Ferdy Sambo mempertanyakan status JC, lantaran Richard Eliezer dinilai tak layak disebut sebagai pelaku yang bekerja sama.
Febri Diansyah misalnya, melontarkan pertanyaan kepada saksi ahli, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Andalas Elwi Danil pada persidangan 27 Desember 2022.
"Apakah seseorang yang pernah berbohong dalam proses pemeriksaan pidana juga bukan sekali bohongnya bisa lebih dari satu kali. Kemudian dia juga memberikan keterangan di persidangan secara tidak konsisten, apakah orang seperti ini pantas menjadi JC (justice collaborator)?"
Saat itu, ahli menolak untuk menjawab, lantaran orang yang berhak merekomendasikan atau menilai kelayakan seorang JC adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pada akhir penilaian, kata Alwi, Majelis Hakim yang bisa menentukan apakah Richard layak disebut sebagai seorang JC atau tidak.
Keraguan soal status justice collaborator untuk Richard Eliezer juga datang dari jaksa.
Menurut Jaksa, dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi Korban (PKS) Nomor 31 Tahun 2014, terkait pidana pembunuhan berencana, tidak disebutkan bahwa LPSK bisa memberikan status justice collaborator kepada terdakwa.
Hal tersebut tertuang dalam penjelasan umum UU PKS yang menyebut pihak yang bisa disebut sebagai justice collaborator hanya untuk tindak pidana tertentu yang terorganisasi seperti pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, narkotika, psikotropika, kekerasan seksual terhadap anak, dan tindak pidana yang mengancam posisi saksi atau korban.
Perdebatan pendapat mengenai status justice collaborator untuk Richard Eliezer juga terjadi di luar ruang sidang.
Baca juga: Kapolri Pertimbangkan Harapan Masyarakat-Orang Tua untuk Terima Lagi Richard Eliezer
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung RI Fadil Zumhana meragukan Richard Eliezer memiliki kriteria sebagai seorang justice collaborator.