PARA ahli perilaku memilih telah mengembangkan model sosiologis dan sosio-psikologis mengenai keputusan pilihan suara dalam pemilu. Sementara model teoretis baru lebih menekankan pada pemrosesan informasi oleh pemilih sebagai variabel bebas (Gabriel, 2020).
Intinya, cara mengelola dan memanfaatkan informasi tentang parpol/kandidat merupakan faktor penting yang memengaruhi keputusan pemilih.
Pada era digital, perubahan teoretis ini penting demi meningkatkan kualitas keputusan memilih kandidat/parpol. Namun, para pemilih lebih banyak memanfaatkan informasi pintas, daripada informasi menyeluruh sebelum menyalurkan suaranya.
Baca juga: Era Politik Digital dan Pembelajaran Kasus Video Jika Jokowi Terpilih, Tak Ada Lagi Azan
Mengutip pendapat Lodge dan Taber (2000), cara tersebut mendorong pemilih menyederhanakan situasi keputusan dan mencari pembenaran keputusan sebelum menilai opsi-opsi yang tersedia.
Bila cara pintas mengelola informasi lebih banyak dilakukan pemilih, maka sejumlah risiko menghantui Pemilu 2024. Kemudahan digital dalam memproduksi dan menyebarkan informasi tentang kandidat dan parpol, setidaknya, berisiko terhadap penurunan kualitas keputusan memilih.
Hasil survei Litbang Kompas (Mei 2022) menunjukkan 36,3 persen responden berpendapat bahwa kerja pendengung (buzzer) dan pemengaruh (influencer) mempertajam perbedaan politik semenjak Pilpres 2019. Mereka memperparah pembelahan politik dengan membingkai narasi-narasi hitam dan saling menyerang.
Survei mengungkap pula bahwa informasi invalid (tidak lengkap, sumber tidak kredibel, bohong) memperuncing perbedaan politik.
Pembingkaian narasi politik digital menyimpang merupakan praktik politik toksik. Informasi invalid yang sengaja diproduksi dan disebarkan para pendengung dan pemengaruh memiliki efek merusak terhadap persepsi dan keputusan politik warga.
Data Kemenkominfo mengungkap tingkat penyebaran hoaks pada masa pilpres dan pileg (Maret-Mei 2019). Dalam kurun tiga bulan tersebut hoaks mencapai 40,4 persen dari total 3.356 hoaks selama Agustus 2018-September 2019. Hoaks politik merupakan kategori tertinggi. Risiko toksisitas narasi utamanya terjadi di dunia maya.
Baca juga: [VIDEO] Beredar Hoaks Jokowi Hadiri Deklarasi Penambahan Masa Jabatan Tiga Periode
Hasil riset KIC (November 2020) menunjukkan 30-60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses informasi dan berkomunikasi di internet. Sebaliknya, tingkat pengenalan warga terhadap hoaks hanya 21-36 persen. Data-data tersebut menunjukkan potensi risiko yang menyebabkan bias perilaku pemilih.
Toksisitas politik digital bisa mendegradasi nilai demokrasi kompetitif Pilpres dan Pileg 2024.
Pertama, narasi digital partisan berisiko mereduksi nilai-nilai induktif demokrasi. Narasi rakyat seharusnya membangun dan mengarahkan narasi elite. Sebaliknya, politik digital membantu elite secara deduktif mengonstruksi narasi politik yang memengaruhi persepsi publik demi memenangkan persaingan.
Kedua, politik digital partisan menyebabkan kebutuhan dan kepentingan warga terabaikan dalam agenda demokrasi. Kebutuhan dan kepentingan publik menjadi kurang prioritas dibanding pertimbangan konstituen. Konsekuensinya, problem publik menjadi tidak lebih urgen ketimbang agenda konstituen.
Terakhir, nilai demokrasi kompetitif menganjurkan ketahanan watak bajik antarwarga, misalnya gotong royong. Tingginya kadar toksisitas politik digital berisiko menggerus kebajikan warga.
Pembingkaian narasi digital secara negatif, berulang, dan teragendakan bisa mereduksi tabiat bajik kekariban warga, karena efek persaingan yang minim moralitas politik.