JAKARTA, KOMPAS.com- "Pembelaan yang Sia-sia" itulah judul nota pembelaan atau pleidoi yang hendak disampaikan oleh Ferdy Sambo, terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, ajudannya sendiri, akhir Januari 2023.
Judul itu belakangan diubah oleh Sambo menjadi "Setitik Harapan dalam Ruang Sesak Pengadilan" saat ia hendak membacanya di muka pengadilan.
Frasa "Pembelaan yang Sia-sia" agaknya memang terbukti sia-sia setelah eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri itu dijatuhi hukuman mati, atau lebih berat dari tuntutan seumur hidup yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU).
Baca juga: Polri Hargai Keputusan Hakim Usai Ferdy Sambo Divonis Mati
Dalam sidang pembacaan putusan, Senin (14/2/2023) kemarin, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin hakim Wahyu Iman Santoso mementahkan pembelaan Sambo.
Majelis hakim, misalnya, mengesampingkan motif kekerasan seksual terhadap istri Sambo, Putri Cadrawathi, yang disebut-sebut dilakukan oleh Yosua atau Brigadir J.
Selama proses hukum berjalan, kubu Sambo terus-terusan menuding Brigadir J telah melecehkan Putri.
Peristiwa inilah yang mereka klaim menjadi alasan Sambo merancang pembunuhan terhadap Brigadir J.
"Majelis tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual atau perkosaan atau lebih dari itu kepada Putri Candrawathi. Sehingga terhadap adanya alasan demikian patut dikesampingkan,” kata hakim Wahyu.
Majelis Hakim justru menilai bahwa peristiwa pelecehan seksual yang dituduhkan Sambo cs itu hanyalah pembenaran terhadap tindakan para terdakwa membunuh Brigadir J.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim juga menilai tidak ada alasan pemaaf dan pembenar maupun hal yang meringankan dari perbuatan yang dilakukan eks jenderal bintang dua itu.
Majelis Hakim malah menilai ada tujuh hal yang memberatkan Sambo dalam peristiwa ini.
Baca juga: Mahfud MD: Hukuman Sambo Bisa Berkurang Berdasarkan KUHP Baru, tetapi Itu Tak Penting
Sambo yang sudah berkarier puluhan tahun di institusi Polri, misalnya, dianggap telah mencoreng citra Korps Bhayangkara di mata masyarakat Indonesia dan internasional dengan keterlibatannya membunuh Yosua.
Perbuatan Sambo juga dianggap menimbulkan keresahan dan kegaduhan di tengah masyarakat, menyeret banyak anak buah, serta berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatan.
Pada akhirnya, Sambo pun dijatuhi hukuman mati, hukuman terberat yang bisa dijatuhkan. Pembelaannya pun benar-benar sia-sia di mata Majelis Hakim.
Putus asa