KAMUS Oxford menyebut post-truth sebagai Word of the Year tahun 2016. Berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut tahun 2016 meningkat 2.000 persen bila dibandingkan 2015.
Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh tahun 2016, yaitu keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit), dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Era post-truth ditandai dua fenomena penting. Pertama, perdebatan dan pertarungan wacana tentang kebenaran lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebenaran itu sendiri.
Era tatkala kebenaran dibangun di atas fondasi kebohongan dan hoaks yang terus-menerus dinarasikan, yang kemudian dianggap dan diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Di era ini, fakta tidak lagi terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Setiap orang terjangkit Efek Dunning-Kruger dan Bias Konfirmasi dalam segala hal.
Kedua, fakta, realitas, kebenaran tidak lagi menjadi otoritas mutlak kalangan intelektual yang lahir dari dan diproduksi oleh tradisi universiter yang sangat ketat dan canggih.
Otoritas pengetahuan, pakar, kepakaran atau kecendekiaan runtuh. Mereka seakan tak lagi memiliki otoritas keilmuan untuk mengendalikan ilmu pengetahuan di ruang-ruang publik.
Fenomena ini direkam oleh Tom Nichols dalam bukunya "The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters" (2017).
Nichols secara aktual, cerdas, dan orisinil menggambarkan bagaimana revolusi digital, internet, dan medsos mampu mewahani dan mendorong kuat hasrat heroik, dan narsisme banyak orang.
Dalam konteks ini, jurnalisme warga (citizen journalism) memiliki peran yang sangat penting dan krusial pada era post-truth.
Di satu sisi, jurnalisme warga tampil sebagai “media sandingan” sekaligus “media tandingan” dari media massa sebagai media arus utama.
Sebagai media sandingan, jurnalisme warga dapat memberikan ruang yang lebih luas dan terbuka kepada warga untuk turut berwacana di ruang-ruang media publik dibandingkan yang disediakan oleh media arus-utama.
Jurnalisme warga juga bisa menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan tidak menutup kemungkinan berfungsi sebagai lembaga ekonomi, seperti halnya media massa arus-utama.
Bedanya, jurnalisme media massa dikembangkan dari konsep “journalism is for citizens”, di mana warga hanya menjadi konsumen jurnalisme yang diproduksi, di-review, dan didistribusikan oleh jurnalis profesional, dewan editor, dan penerbit.
Sedangkan jurnalisme warga dikembangkan dari konsep “journalism as citizenship”, di mana seluruh proses jurnalisme (pengumpulan, analisis, produksi, dan penyampaian informasi dan berita) dilakukan sendiri oleh warga.