JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Yudisial mengungkap masalah struktural yang melatarbelakangi sepinya peminat seleksi calon hakim HAM ad hoc di Mahkamah Agung (MA).
KY sebelumnya mengamini bahwa seleksi yang berlangsung saat ini tidak ideal dan mereka berhadapan dengan masalah minimnya ketersediaan calon, terutama calon yang kompeten dan berintegritas.
Dari permukaan, masalah ini ditengarai terjadi karena rendahnya batas usia calon hakim HAM ad hoc, yaitu 50 tahun. Juru bicara KY Miko Ginting menilai, persyaratan ini membuat calon-calon potensial tetapi belum sampai batas usia tersebut tidak bisa mendaftar.
Baca juga: KY Akui Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA Tak Ideal
Namun demikian, lebih dari itu, ada masalah yang dianggap lebih struktural, yaitu ketidakpastian perkara yang akan ditangani.
"Hingga saat ini hanya satu perkara, yaitu perkara Paniai, yang diperiksa oleh pengadilan. Itu pun hanya dengan satu terdakwa yang akhirnya diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama," kata Miko dalam keterangan tertulis, Senin (6/2/2023).
"Padahal selama menjabat sebagai hakim ad hoc HAM di MA, calon yang bersangkutan tidak bisa atau sangat terbatas untuk menjalankan profesi lain," tambahnya.
Masalah lain adalah persoalan insentif. Hingga saat ini, Miko mengatakan, KY belum mendapatkan informasi terkait peraturan presiden tentang insentif dan fasilitas bagi hakim ad hoc HAM di MA.
Baca juga: KY Sebut Tak Ada Larangan Polisi Aktif Ikut Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA
Persoalan ini sudah disampaikan Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai berdasarkan hasil pemantauan terhadap proses hukum Tragedi Paniai, Desember 2022, di mana majelis hakim ad hoc yang menangani perkara ini belum digaji.
"Persoalan pokok di atas adalah persoalan struktural yang terdapat dalam regulasi dan proses penegakan hukum secara faktual," kata Miko.
"KY berpandangan jika pun seleksi diulang kembali, yang dengan demikian KY juga melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal enam bulan, apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?" tanya dia.
Ia berujar, dikepung aneka persoalan yang menyebabkan minimnya calon untuk mendaftar, sedangkan perkara Tragedi Paniai saat ini sudah diajukan ke tingkat kasasi, maka KY mesti memilih calon yang terbaik dari yang ada.
"Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda," ujar Miko.
Sebelumnya diberitakan, KontraS meragukan kualitas dan pemahaman calon hakim ad hoc HAM di MA yang proses seleksinya sedang berlangsung saat ini.
Baca juga: Didatangi 3 Kali Keluarga Lukas Enembe, Komnas HAM Lakukan Koordinasi dengan KPK
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, dalam keterangan tertulis, Jumat (3/1/2023), menyatakan bahwa keraguan itu timbul berdasarkan pemantauan dan pemeriksaan latar belakang terhadap para calon hakim yang mereka lakukan sejak tanggal 30 Januari, termasuk pada tahap wawancara terbuka tanggal 2 Februari 2023 yang dihadiri oleh Kontras.
Pertama, Kontras melihat beberapa calon minim pengetahuan terkait pengadilan HAM. Beberapa calon hakim masih belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran HAM yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dengan pelanggaran HAM berat yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.
Salah seorang calon juga disebut tidak bisa menjelaskan dengan baik unsur utama kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu “meluas” dan “sistematis”.
Kedua, Kontras menemukan adanya calon hakim ad hoc HAM yang masih mendukung penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial, hal yang dianggap mengesampingkan proses pencarian dan akses korban terhadap kebenaran dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Ketiga, terdapat calon yang memiliki catatan buruk.
Baca juga: Calon Hakim Ad Hoc HAM MA Terkekeh Saat Ditanya Diskon Hukuman Jaksa Pinangki
"Kami menemukan fakta bahwa seorang calon hakim melakukan rekayasa terhadap dokumen kelengkapan pendaftaran hakim. Saat dikonfirmasi oleh Komisioner Komisi Yudisial, yang bersangkutan menyatakan 'saya mengaku salah dan perbuatan tersebut merupakan perilaku yang tidak etis'," ungkap Fatia.
"Kami berharap agar hakim ad hoc yang kali ini terpilih melalui putusan yang dihasilkannya bisa menjawab kebutuhan keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini gagal dilakukan oleh empat Pengadilan HAM yang telah berjalan (Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura dan Paniai)," ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.