Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Wajah Buruk Polisi: Polisi Peras Polisi, Polisi Korup, Polisi Bunuh Polisi, dan "Simpanan" Polisi

Kompas.com - 06/02/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ANDAI Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso masih ada, saya yakin pasti sosok polisi jujur itu akan terus-menerus menangis, mirip Fajar Sadboy yang tengah viral saat ini. Jika Fajar kerap mewek karena persoalan cewek yang memutuskan percintaannya, Jenderal Hoegeng yang menjadi Kapolri di era 1968-1971 itu akan menangis kecewa karena ulah polisi masa kini.

Betapa tidak, pemberitaan di media akhir-akhir ini dipenuhi dengan kisah-kisah polisi “brengsek”. Ada perempuan “simpanan” polisi yang jemawa menyebut dirinya ikut iring-iringan konvoi kendaraan polisi karena mendapat izin dari suaminya dan kendaraanya lalu menabrak hingga tewas pengendara sepeda motor karena urusan “penting” dengan polisi “gendakkannya”.

Ada polisi yang tajir melintir hingga kepelintir asal-usul perolehan hartanya terkait kedudukannya pada jabatan “basah” yang bisa mempermainkan kasus dan keadilan.

Baca juga: Tahan Tangis, Bripka Madih: Mohon Maaf Bapak Kapolri, Saya Masih Cinta Polisi

Ada polisi, provos lagi, yang merasa “dikerjai” polisi lainnya karena urusan jual beli tanah. Agar urusan tanah beres, polisi yang menjadi penyidik meminta tarif dan upeti tanah kepada polisi yang orangtuanya memiliki tanah.

Belum lagi, kisah kegetiran anak buah bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri yang mengaku dikorbankan komandannya karena urusan pribadi, tetapi kini harus menderita dan merana. Tidak saja karir dan namanya tercoreng, keluarga polisi yang "sial" itu juga mengalami tekanan hidup.

Yang lebih ambyaar lagi, ada polisi memerintahkan polisi “menilep” barang bukti untuk dijual ke bandar narkoba di kampung narkoba. Kapolda memerintahkan kapolres, dan kapolres menyuruh kapolsek. Isi perintahnya: jual sabu-sabu untuk mendapatkan fulus.

Kembali saya teringat dengan cerita-cerita kriminal klasik, untuk membongkar kejahatan jangan fokus ke penjahat yang dicurigai. Bisa jadi kejahatan itu datang dari hamba penegak hukum itu sendiri. Polisi yang harusnya memberantas kejahatan malah terjebak ke dalam pusaran kejahatan yang tiada henti.

Belum lagi jika mengulik kisah pensiunan polisi yang menabrak mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Harsya Atalla Saputra hingga ajal menjemput menjadi gambaran kelamnya wajah kepolisian kita.

Ke dua kakek saya begitu bangga menjadi polisi hingga akhir hayat mereka, walau pangkatnya begitu rendah. Tetapi justru dari kerendahan pangkatnya saya bisa mengambil pelajaran betapa ajaran kehidupannya begitu tinggi.

Kakek saya begitu tersinggung jika ada yang mengolok “prit jigo” sebagai simbolisasi polisi brengsek yang bisa disuap dengan uang Rp 25 untuk pelanggaran ringan lalu lintas. Kala itu, di tahun 1970-an, nilai mata uang Rp 25 masih tergolong lumayan. Mungkin ke dua kakek saya akan lebih tersinggung lagi jika sekarang ini harga “prit jigo” sudah bermetamorfosis menjadi “prit miliar”.

Kedua kakek saya itu -keduanya sudah meninggal dunia- selalu berpesan, orang boleh berpangkat tinggi tetapi jika akhlaknya belangsak (buruk) maka dirinya sedang mempermalukan dirinya sendiri, keluarganya, serta institusinya. Pangkat rendah atau tinggi adalah titipan, sewaktu-waktu bisa berakhir jabatan tetapi kebaikan seorang polisi akan dikenang sepanjang hayat.

Kedua kakek saya itu, begitu mengagumi komandan tertingginya, Jenderal Hoegeng Imam Santoso.

Terdakwa Ferdy Sambo menjalani persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan agenda pembacaan replik oleh jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (27/1/2023). KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA Terdakwa Ferdy Sambo menjalani persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan agenda pembacaan replik oleh jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (27/1/2023).
Pelajaran Moral dari Cianjur  dan Relasi Kekuasaan

Andai tidak merasa sebagai istri polisi yang bisa menyombongkan diri seenaknya, mungkin saja kasus tabrak lari terhadap mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Suryakencana, Selvi Amalia Nuraini (19), tidak terungkap dengan terang benderang. Pengakuan Nur (23) yang menjadi penumpang mobil mewah Audi A6 justru membuka “borok” hubungannya dengan Kompol D yang menjadi penyidik Polda Metro Jaya yang menangani kasus “serial killer” Wowon.

Nur belum menjadi istri yang sah, berlagak sebagai pengadil mirip polisi-polisi korup di film-film Barat. Dia membantah terlibat tabrakan, mencari alasan pembenar masuk iring-iringan konvoi. Pengakuannya janggal soal kepemilikan mobil, dan statusnya ternyata sebagai istri siri, padahal sebagai pegawai negeri, Kompol D terikat dengan larangan poligami.

Keputusan Kapolda Metro Jaya yang langsung melakukan sidang etik terhadap Kompol D dan memutasikannya ke Pelayanan Markas (Yanma) adalah langkah tepat untuk mengurai kasus yang mencoreng institusi. Kematian Selvi yang semula dituduh menghalang-halangi iring-iringan konvoi harus mendapat kejelasan dan keadilan.

Baca juga: Anak Buah Sambo Beberkan Budaya Sulit Tolak Perintah Atasan, Kompolnas: Sekarang Bukan Zaman Orde Baru

Sopir Audi A6 yang diperintah Nur, istri simpanan Kompol D, memaksa masuk iring-ringan konvoi kendaraan polisi, tidak boleh hanya dikorbankan demi melidungi Nur dan keterkaitannya dengan Kompol D. Profiling penghasilan Kompol D sebagai polisi dengan keterkaitannya dengan kepemilikan mobil Audi A6 harus menjadi titik masuk untuk terjadinya potensi penyimpangan jabatan.

Masih dengan kasus tabrakan dengan indikasi adanya pembiaran yang dilakukan pensiunan AKBP E dan keanehan penetapan tersangka terhadap korban tewas mahasiswa UI, Hasya, membuka gugatan adanya relasi kekuasaan di institusi Polri. Kesungkanan “jeruk makan jeruk” dalam kasus tewasnya Hasya begitu kental terlihat.

Penetapan status tersangka kepada Hasya yang tewas karena gilasan kendaraan Mitsubishi Pajero yang dikemudikan mantan Kepala Seksi Kecelakaan Lalu Lintas Polda Metro Jaya itu mengingatkan kita pada pola-pola penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas. Saya jadi teringat dengan kecelakaan “karambol” di Jalan Tol Jagorawi, 17 November 2004 yang menewaskan lima orang dan tujuh kendaraan rusak berat.

Iring-iringan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masuk Tol Cibubur dan petugas menghentikan arus lalu lintas yang sedang ramai-ramainya dengan mendadak, menjadi biang keladi kejadian tragis tersebut (Detik.com, 17 November 2004).

Perjalanan Presiden memang tidak bisa diganggu gugat dan berhak mendapat pengawalan istimewa, justru manajemen lalu lintas yang diterapkan petugas di lapangan yang harus dipertanyakan. Bukannya menjadikan salah satu korban tewas malah ditetapkan sebagai tersangka. Kemiripan dengan kasus Hasya, kasus tersebut “closed” dan tersangkanya adalah yang menjadi korban tewas.

Relasi kekuasaan di tubuh Polri pulalah yang digugat para terdakwa kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Diakui salah satu terdakwa, AKBP Arif Rachman Arifin, bahwa di institusinya kental dengan sikap bawahan yang begitu sulit untuk menolak perintah atasan. Polisi berpangkat tinggi harus dijunjung tinggi dan dituruti semua permintaannya, salah atau benar, oleh bawahannya.

Polisi yang menjadi bawahan harus menyembah yang menjadi atasan, tidak jarang harus mempersembahkan upeti.

Reformasi di tubuh Polri ternyata belum berjalan tuntas dan masih menyisakan persoalan klasik. Profesionalisme masih menjadi harapan.

Kesalahan para terdakwa obstruction justice dalam kasus kematian Brigadir Yosua, termasuk di antaranya peraih Adhi Makayasa - penghargaan tertinggi sebagai lulusan Akademi Kepolisian terbaik – tidak bisa semata karena ketidakprofesionalan mereka. Relasi kekuasaan yang terpatri kokoh dan eksploitasi bawahan oleh atasan menjadi wajah lama di institusi kepolisian.

Pemanfaatan jabatan bisa terlihat dari kasus Ferdy Sambo yang begitu mendapat extra previladge dalam pengawalan personel sehingga tenaga polisi bisa dimanfaatkan untuk keperluan pribadi. Relasi kekuasaan juga menonjol dalam kasus bekas Kapolda Sumatera Barat, Teddy Minahasa, dalam kasus menukar barang bukti sabu-sabu dengan tawas.

Teddy Minahasa memerintah Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy Prawiranegara untuk mencuri barang bukti. Si Kapolres menyuruh perantara hingga perintah dijalankan Kapolsek Kalibaru Kasranto.

Kapolsek memerintahkan bawahannya hingga sabu-sabu curian terjual ke bandar besar di Kampung Bahari, Jakarta, Alex Bonpis.

Perwira Polri AKBP Bambang Kayun digelandang petugas KPK ke rumah tahanan (Rutan) Pomdam Jaya Guntur dari gedung Merah Putih KPK. Ia akan menjalani masa penahanan selama 20 hari kedepan terhitung sejak 3 hingga 22 Januari 2023, Selasa (3/1/2023).KOMPAS.com/Syakirun Ni'am Perwira Polri AKBP Bambang Kayun digelandang petugas KPK ke rumah tahanan (Rutan) Pomdam Jaya Guntur dari gedung Merah Putih KPK. Ia akan menjalani masa penahanan selama 20 hari kedepan terhitung sejak 3 hingga 22 Januari 2023, Selasa (3/1/2023).
Polisi Peras Polisi

Kasus “jeruk makan jeruk” di tubuh kepolisian kembali menyeruak usai anggota Provos Polres Jakarta Timur, Brigadir Madih mengaku “dikerjain” penyidik Polda Metro Jaya yang meminta imbalan Rp 100 juta dan sebidang tanah seluas 1.000 meter persegi jika kasus penyerobotan tanah orang tua Madih ingin diselesaikan (Kompas.com, 3 Februari 2023).

Ketika kasus Madih yang berpangkat rendah menyeruak ke permukaan, institusinya langsung "gerak cepat". Bukan respon cepat mengusut kasus pelaporan Madih yang sejak tahun 2011 terbengkalai hingga sekarang, tetapi malah “membelejeti” pribadi Madih.

Madih memang pernah bermasalah tetapi kasus ketidakadilan yang membelitnya tidak boleh dinafikan. Jika sekarang Madih mengajukan pengunduran dirinya sebagai personel Polri, kasus pemalakan yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya tidak boleh ditutup-tutupi.

Cara-cara penyelesaian seperti itu justru menjadikan Madih sebagai martir keadilan walau kasus penyerobotan tanah milik orang tuanya belum terang benderang. Jika Madih yang polisi saja masih “dipalak” oleh polisi lain, bagaimana dengan warga sipil yang notabene rakyat kecil yang butuh perlindungan dan penegakkan keadilan?

Baca juga: Teddy Minahasa Klaim Ada Oknum Hendak Jatuhkan Kariernya yang Tengah Melejit

 

Sekali lagi saya jadi ingat dengan kasus Ajun Komisaris Besar Bambang Kayun yang bisa “mempermainkan” keadilan karena jabatannya sebagai Kepala Sub Bagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum Biro Bankum Divisi Hukum Polri (Tempo.co, 16 Januari 2023). Dugaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang telah menerima gratifikasi sejumlah Rp 50 miliar dari berbagai pihak yang ingin kasusnya diuntungkan dan meringankan para sponsor.

Jika polisi saja bisa “dibeli” maka tamatlah riwayat keadilan di negeri ini. Komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membersihkan institusinya dari praktek-praktek menyimpang harus terus kita tagih.

Jenderal Listyo sudah berkomitmen “ikan busuk mulai dari kepala”. Jika pimpinannya bermasalah maka bawahannya juga akan bermasalah. Saatnya Kapolri memotong kepala ikan mengingat masih ada ikan-ikan yang busuk.

“Di dalam jeruji tahanan yang sempit saya terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan saya sebagai manusia. Tidak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan saya yang begitu terhormat, dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan. Demikianlah penyesalan kerap tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahuluinya.” - Ferdy Sambo.

Semoga penyesalan Ferdy menjadi pembelajaran bagi personel polisi lainnya dan kita semua sebelum melangkah jauh dalam berbagai tahap kehidupan. Saatnya Ferdy, Teddy, polisi-polisi yang korup, polisi “makan" polisi, dan polisi selingkuh menggencarkan dan perbanyak sujud. Sujud itu ketika kau berbisik ke tanah, namun terdengar tinggi sampai ke langit untuk memohon ampunan-Nya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Mantan Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo Jadi Waketum Perindo

Mantan Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo Jadi Waketum Perindo

Nasional
Ketum Perindo Sebut Indonesia Paling Cocok Dipimpin Figur Nasionalis dan Regilius

Ketum Perindo Sebut Indonesia Paling Cocok Dipimpin Figur Nasionalis dan Regilius

Nasional
Jokowi Sebut Pemain Timnas U-20 Ingin Kuliah hingga jadi Anggota TNI-Polri

Jokowi Sebut Pemain Timnas U-20 Ingin Kuliah hingga jadi Anggota TNI-Polri

Nasional
Jokowi Tampak Ngobrol dengan Shin Tae-Yong, Apa yang Dibahas?

Jokowi Tampak Ngobrol dengan Shin Tae-Yong, Apa yang Dibahas?

Nasional
Jokowi Minta Timnas U-20 Tak Larut dalam Kekecewaan

Jokowi Minta Timnas U-20 Tak Larut dalam Kekecewaan

Nasional
Piala Dunia U-20 RI Batal, Perindo Singgung Kredibilitas dan Komitmen Bangsa Jadi Pertaruhannya

Piala Dunia U-20 RI Batal, Perindo Singgung Kredibilitas dan Komitmen Bangsa Jadi Pertaruhannya

Nasional
Polemik Penolakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, Arsul Sani: Kami Setuju Ada UU Ini

Polemik Penolakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, Arsul Sani: Kami Setuju Ada UU Ini

Nasional
Dapat Surat dari FIFA, Jokowi: Saya Tidak Bisa Jelaskan Isinya

Dapat Surat dari FIFA, Jokowi: Saya Tidak Bisa Jelaskan Isinya

Nasional
Jokowi Sebut Timnas U-20 Masih Punya Banyak Kesempatan, dari SEA Games hingga Olimpiade

Jokowi Sebut Timnas U-20 Masih Punya Banyak Kesempatan, dari SEA Games hingga Olimpiade

Nasional
Ungkap Praktik Suap di Bea Cukai Tahun 2008, Eks Komisioner KPK: Transaksi Capai Rp 47 M per Bulan

Ungkap Praktik Suap di Bea Cukai Tahun 2008, Eks Komisioner KPK: Transaksi Capai Rp 47 M per Bulan

Nasional
KPU Nyatakan Prima Lolos Verifikasi Administrasi Peserta Pemilu 2024

KPU Nyatakan Prima Lolos Verifikasi Administrasi Peserta Pemilu 2024

Nasional
Ketua DPP Golkar: Posisi Indonesia Jadi Tuan Rumah Berbagai Jenis Olahraga Internasional Bisa Terancam

Ketua DPP Golkar: Posisi Indonesia Jadi Tuan Rumah Berbagai Jenis Olahraga Internasional Bisa Terancam

Nasional
Jokowi Temui Skuad Timnas U-20 di Stadion Utama GBK

Jokowi Temui Skuad Timnas U-20 di Stadion Utama GBK

Nasional
Buka Mubes Gakum Kosgoro 1957, Agung Laksono Harap Hukum Tak Lagi Tumpul ke Atas dan Tajam ke Bawah

Buka Mubes Gakum Kosgoro 1957, Agung Laksono Harap Hukum Tak Lagi Tumpul ke Atas dan Tajam ke Bawah

Nasional
KPK Cek LHKPN Pejabat Dishub DKI Massdes Arouffy Buntut Istri yang Pamer Harta

KPK Cek LHKPN Pejabat Dishub DKI Massdes Arouffy Buntut Istri yang Pamer Harta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke