JAKARTA, KOMPAS.com - Pemberantasan korupsi pada tahun 2022 seperti berwajah suram. Skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia merosot 4 poin ke angka 34/100.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko mengatakan, skor 0 menunjukkan suatu negara sangat korup sementara 100 bebas korupsi.
Selain IPK yang merosot, peringkat Indonesia juga anjlok dari 96 ke posisi 110 dari 180 negara.
“Sekarang kita berada di skor 34 (dari) 0-100 dan ranking 110,” kata Wawan dalam konferensi pers Peluncuran Corruption Perceptions Index 2022 di Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).
Baca juga: IPK Turun, Upaya Pemberantasan Korupsi Indonesia Dianggap Terpuruk
Dari 11 negara di Asia Tenggara, Indonesia menduduki posisi ketujuh, jauh tertinggal dari Singapura dengan skor 83, Malaysia 47, Timor Leste 42, Vietnam 42, dan Thailand 36.
Dalam menilai IKP atau corruption perceptions index (CPI), TII menggunakan 9 indikator.
Indikator yakni Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide, Global Insight Country Risk Ratings, dan IMD World Competitiveness Yearbook.
Kemudian, Economist Intelligence Unit Country Ratings, Bertelsmann Foundation Transform Index, PERC Asia Risk Guide, World Justice Project-Rule of Law Index, serta Varieties of Democracy Project.
Baca juga: Eks Penyidik KPK Sebut Janji Jokowi Perkuat Pemberantasan Korupsi Hanya Basa-basi
Wawan menuturkan, salah satu indikator yang mempengaruhi anjloknya IKP adalah turunnya poin pada indikator PRS.
Indikator ini menilai tingkat korupsi politik mulai dari pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, polisi, dan militer menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Temuan TII, skor PRS turun 13 poin dari 48 menjadi 35 pada tahun ini.
“Itu turut menyumbang penurunan CPI kita dari 38 ke 34 tahun ini,” ujar Wawan.
Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengaku kaget saat mendengar skor IPK anjlok menjadi 34/100.
“Jadi yang pertama saya ditelepon kemarin kaget setengah mati saya, kok cuma 34,” kata Pahala.
Menurut Pahala, terdapat tiga indikator yang merosot dan mempengaruhi anjloknya IPK.
Tiga indikator itu adalah Political and Economic Risk Consultancy (PERC), PRS) International Country Risk Guide, dan IMD World Competitiveness Yearbook.
Baca juga: ICW Sebut Pernyataan Pemberantasan Korupsi Jokowi Hanya Pemanis Pidato
Menurut Pahala, PERC Indonesia pernah mencapai skor 58. Namun, skor itu kemudian merosot hingga 50 persen.
Saat ini, skor PERC hanya 29. Hal ini membuat investor takut datang ke Indonesia.
“Siapa yang datang ke Indonesia kalau country risk-nya sebegitu tinggi? Pasti investor yang nekat,” ujar dia.
Pahala mengungkapkan, skor IPK selama ini tidak pernah melewati batas 40. Menurutnya, perlu berbagai terobosan untuk mendongkrak IPK menembus angka tersebut.
Baca juga: Indeks Korupsi Turun, Indonesia Mendekati Deretan Sepertiga Negara Korup Dunia
Ia mencontohkan hingga saat ini belum terdapat terobosan di bidang pengadaan barang dan jasa serta konflik kepentingan.
“Kita bilang sistemnya semua orang tahu sistem yang sekarang ini, terobosannya kan enggak ada,” ujar Pahala.
Sementara itu, Managing Director of Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam menyebut merosotnya IPK menunjukkan demokrasi sedang dalam masalah serius.
“Kalau Indonesia pada titik 34 tepat berada di tengah 30 dan 36 maka ada sesuatu secara demokrasi cukup serius problemnya di sana,” kata Umam.
Ia lantas menyoroti turunnya PRS International Risk Guide dari 48 menjadi 35.
Indikator ini mengukur korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran suap untuk izin ekspor/impor.
Baca juga: ICW Sebut Merosotnya IPK Tak Terlepas dari Pernyataan Luhut dan Tito yang Permisif terhadap Korupsi
Sementara, dua indikator lainnya, IMD WOrld Competitiveness Yearbook dan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide juga merosot.
Ketiga indikator itu memang memberikan penilaian dari perspektif bisnis. Namun, terdapat dunia bisnis memberikan catatan terhadap kualitas demokrasi dan penegakan hukum.
“Jadi kualitas demokrasi kita memang kalau kita sekarang menjadi 34 ini adalah pesan terjadi kita sudah mengalami kemunduran demokrasi,” ujar Umam.
Ia kemudian menyebut bahwa demokrasi tidak bisa hanya dipahami sebatas penyelenggaraan pemilu.
Sejumlah komponen lain seperti aturan hukum, kebebasan pers, dan semangat masyarakat sipil juga mesti dipenuhi.
Sejumlah peristiwa yang ditimbulkan kelompok politik tertentu untuk mengkooptasi kekuasaaan dan melemahkan pengawasan terhadap demokrasi.
Beberapa di antara fenomena itu adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); wacana perpanjangan presiden, penundaan Pemilu, masa jabatan kepala desa; dan skema Pemilu serentak sementara 271 kepala daerah rentan dipolitisasi.
“KPK sebagai korektor kekuasaan telah ter-delegitimasi, tadi Mbak Bibit (Bivitri Susanti) secara clear, KPK dibunuh, saya agak tertegun,” tuturnya.
Terpisah, Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang, kemerosotan skor IPK ini membuat Indonesia llayak disebut sebagai negara korup.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, narasi pemberantasan korupsi yang selama ini disampaikan Presiden Joko Widodo tak ubahnya hanya pemanis belaka.
“Mencermati IPK Indonesia, dapat disimpulkan bahwa untaian kalimat Presiden terkait pemberantasan korupsi hanya sekadar pemanis pidato semata,” kata Kurnia dalam keterangan resminya, Rabu (1/2/2023).
Baca juga: IPK 2022 Sama dengan 2014, Pengamat Sebut Jokowi Belum Berkontribusi dalam Pemberantasan Korupsi
Kurnia mengatakan, salah satu temuan TII dalam mengukur adalah masifnya korupsi politik di Indonesia.
Menurut ICW, persoalan ini timbul disebabkan sejumlah hal. Pertama, KPK sebagai lembaga yang getol memberantas korupsi politik dilemahkan.
Pelemahan dilakukan dengan merevisi Undang-Undang KPK pada 2019. Kemudian, Jokowi juga membiarkan KPK dipimpin orang-orang bermasalah.
“KPK yang selama ini gencar memberantas korupsi politik justru dilemahkan oleh Presiden Joko Widodo,” kata Kurnia.
Kemudian, ICW juga memandang sejumlah menteri Jokowi bersikap permisif terhadap korupsi.
Mereka adalah Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Dalam sejumlah kesempatan, Luhut dinilai melontarkan pernyataan bertendensi negatif terhadap operasi tangkap tangan (OTT).
“Luhut B Pandjaitan, sempat berulang kali mengomentari mengenai operasi tangkap tangan dengan kalimat destruktif,” ujar Kurnia.
Sementara, Tito secara terang-terangan meminta aparat hukum tidak menindak para kepala daerah.
Aparat diminta fokus memberikan pendampingan kepada para kepala daerah.
“Pernyataan-pernyataan semacam ini tentu menunjukan sikap yang berseberangan dengan harapan atas perbaikan pemberantasan korupsi,” kata Kurnia.
Selain itu, pemerintah dan DPR juga tidak menerbitkan produk hukum yang mendukung pemberantasan korupsi.
Hal itu terlihat dari Revisi KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Minerba.
Karena itu, ICW menilai semua pernyataan pembuat undang-undang mengenai pemberantasan korupsi sebagai ilusi.
“Begitu pula Presiden, janji politik saat kampanye tahun 2014 maupun 2019 dilupakan begitu saja seiring dengan menguatnya lingkaran kepentingan politik,” ujar Kurnia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.