“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ucap Presiden Jokowi, Rabu (11/01/2022).
Pidato Jokowi tersebut boleh diakui sebagai langkah progresif yang diambil oleh seorang Presiden sepanjang sejarah perjalanan Indonesia.
Betapa tidak, selama lebih dari setengah abad berjalan dalam bayang-bayang pelanggaran HAM, akhirnya Presiden RI secara perdana memberikan pernyataan yang mengakui terjadinya peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Selain mengakui dan memberikan simpati terhadap keluarga korban atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, Presiden Jokowi dalam pidatonya juga menekankan tiga hal yang akan dilakukan pemerintah.
Pemulihan hak korban tanpa menegasikan penyelesaian yudisial, upaya terarah agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi pada masa depan, serta penugasan Menko Polhukam untuk mengawal kedua arahan tersebut menjadi poin utama dalam pidato yang turut dihadiri oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Pelanggaran HAM berat terutama yang terjadi masa lalu memiliki dimensi sangat luas dan berpengaruh terhadap perjalanan bangsa.
Adalah kesalahan apabila kita menggambarkan pelanggaran HAM berat dengan sudut pandang sempit dan terbatas dalam bingkai konflik pelaku dan korban saja.
Pembiaran tanpa adanya upaya penuntasan terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat yang menempatkan Penguasa Negara sebagai pelaku bukan tidak mungkin akan kembali terulang terhadap kelompok masyarakat lain di negara yang sama.
Indonesia tidak dapat menutup mata bahwa rentetan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan resultante dari tindak pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelumnya tanpa adanya upaya penyelesaian menyeluruh.
Oleh karena itu, sesungguhnya korban dari pelanggaran HAM berat juga meliputi seluruh anak bangsa, bahkan seluruh umat manusia yang dipaksa untuk menjalani hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan bahwa sewaktu-waktu tindakan agresif penguasa dapat menimpa dirinya.
Mencermati dimensi yang luas dari pelanggaran HAM berat masa lalu yang ikut memperluas perspektif tentang korban pada akhirnya akan membawa diskusi ini pada keberadaan konsep Keadilan Transisional yang pernah diteliti oleh Ruti G. Teitel, guru besar dari New York University.
Menurut dia, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang menyeluruh dapat terjadi bukan hanya dengan memenuhi keadilan hukum bagi korban melalui penuntutan terhadap pelaku secara yudisial.
Lebih jauh dari itu, keadilan reparatoris, keadilan administratif, keadilan konstitusional, hingga keadilan historis perlu untuk dipenuhi dalam bentuk upaya non-yudisial.
Keadilan historis merupakan salah satu komponen yang tidak kalah penting untuk diwujudkan dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pentingnya pemenuhan keadilan historis akan memperluas pemahaman bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu pada kenyataannya juga ikut mendudukan kita sebagai korban dalam peristiwa yang mungkin sudah terjadi puluhan tahun lalu.
Seperti kita ketahui bahwa masih banyak peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang kebenarannya hingga saat ini patut untuk dipertanyakan.
Informasi terkait latar belakang pembantaian 1965 – 1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus), peristiwa Talangsari, atau peristiwa Tanjung Priok selalu dinarasikan sebagai bentuk tindakan pengamanan yang dilakukan aparat untuk menghalau serangan dari kelompok masyarakat yang berpotensi mengganggu stabilitas Negara.
Narasi itulah yang selama ini secara turun temurun diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran dan alasan pembenar dari tindakan agresif yang dilakukan oleh penguasa.
Selain keluarga korban yang harus ikut menanggung luka serta sanksi pengucilan masyarakat, ketiadaan upaya pelurusan sejarah sebagai upaya perwujudan keadilan historis hanya akan membuat upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi semu.
Mengambil contoh seperti penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Cile. Sebuah komisi berhasil mengungkap kekejaman rezim Pinochet ketika berkuasa dan membersihkan nama baik korban pembunuhan massal yang selama ini dianggap sebagai pemberontak negara.
Melalui pelurusan sejarah Negara tidak hanya sedang berupaya menulis ulang kejadian sesungguhnya yang terjadi pada masa lalu atas nama kebenaran, namun juga hendak memberikan bekal pembelajaran bagi masa depan seluruh anak bangsa.
Lebih dari itu, perwujudan keadilan historis diharapkan akan menjadi salah satu komponen yang semakin memperkokoh persatuan dengan memperkecil ruang saling curiga di antara anak bangsa.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.