JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI-P, Arteria Dahlan meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan upaya uji materil UU Pemilu dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022 yang pada intinya menggugat sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka.
Permintaan ini merupakan permintaan fraksi PDI-P yang secara mengejutkan dibacakan Arteria Dahlan di tengah-tengah pembacaan pandangan DPR oleh perwakilan Komisi III lainnya, Supriansa dalam sidang pleno di MK.
Supriansa tiba-tiba mempersilakan Arteria Dahlan untuk membacakan pandangan partainya di hadapan sidang karena PDI-P menjadi satu-satunya partai politik parlemen yang menolak sistem proporsional terbuka.
"Fraksi PDI-P memohon agar kiranya Yang Mulia ketua dan majelis hakim konstitusi dapat memutus sebagai berikut, hanya satu permintaan PDI-P, yaitu menerima keterangan fraksi PDI-P secara keseluruhan," ujar Arteria.
Baca juga: 13 Serikat Pekerja Ajukan Permohonan Uji Formil Perppu Cipta Kerja ke MK
"Fraksi PDI-P berpendapat, permohonan para pemohon sangat relevan dan layak diterima, diperiksa, dan diadili oleh Yang Mulia majelis hakim konstitusi, terlebih mengedepankan aspek kemanfaatan," katanya lagi.
Permintaan ini berlawanan dengan permohonan DPR RI lewat Komisi III yang secara terang-terangan meminta MK menolak permohonan uji materi tersebut.
Padahal, nama Arteria, pun Bambang Wuryanto yang juga kader PDI-P, turut menandatangani pandangan DPR RI yang dibacakan Supriansa di muka sidang.
PDI-P memakai Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik, sebagai dalil dukungan atas sistem proporsional tertutup.
PDI-P berpandangan, hal ini menegaskan posisi partai politik bukan hanya terlibat dalam menyeleksi calon legislatif (caleg), melainkan menjadi pihak yang secara langsung berkompetisi.
"Sangat relevan apabila partai politik lah yang diberi kewenangan menentukan siapa saja caleg menurut versi dan pertimbangannya sendiri yang akan dihadirkan untuk dipilih menjadi calon anggota DPR dan DPRD sebelum dipilih oleh rakyat," ujar Arteria.
Baca juga: Sidang MK, DPR: Sistem Proporsional Tertutup Bikin Perpecahan Parpol karena Rebutan Izin Ketum
Ia mengungkapkan, sistem proporsional tertutup akan pro terhadap rekrutmen, seleksi, pendidikan kader berjenjang, hingga penjaringan bakal caleg yang ketat di internal partai politik.
Hal ini dinilai mendukung penguatan partai politik, tak seperti sistem proporsional terbuka yang disebut tak sedikit bakal caleg yang sebetulnya bukan kader partai politik tetapi digaet partai politik menilik popularitasnya yang tinggi di masyarakat.
Arteria lantas menegaskan, sistem pemilu seharusnya mengarah pada penguatan partai politik.
"Hal ini luput dari perhatian pihak yang mendukung sistem proporsional terbuka. Lahirnya wakil rakyat yang berintegritas bukan satu hari, tapi proses panjang di mana parpol lah yang selama ini mewakafkan diri untuk mengambil peran tersebut," kata Arteria.
"Seberapa besar manfaat dari penerapan sistem proporsional terbuka dalam konteks demokrasi, pemenuhan demokrasi substansial, bukan demokrasi prosedural?" ujarnya lagi.
Baca juga: Sidang MK soal Sistem Proporsional Tertutup, DPR Anggap Pemohon Tak Punya Legal Standing
Argumen ini berkebalikan dengan pandangan DPR RI yang diwakili Komisi III bahwa sistem proporsional tertutup, di mana caleg yang berhak duduk di lembaga legislatif dipilihkan oleh partai politik, justru dapat merusak internal partai politik itu sendiri.
"Akan menimbulkan konflik antara para kader parpol di internal, khususnya dengan para ketua partai karena semua kader pastinya akan merasa patut dan layak dipilih untuk memiliki kursi anggota DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota," kata Supriansa dalam sidang.
"DPR RI berpandangan tidak benar jika peran partai politik menjadi terdistorsi (oleh sistem proporsional terbuka) sebagaimana didalilkan para pemohon," ujarnya lagi.
DPR menganggap bahwa partai politik telah diberikan peran yang cukup vital, meskipun dalam sistem proporsional terbuka pemilih dapat mencoblos nama caleg dan caleg yang berhak duduk di kursi dewan adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak, bukan atas instruksi partai politik.
"Berdasarkan Pasal 241 UU Pemilu, partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai AD/ART dan/atau penentuan internal. Berdasarkan pasal a quo, jelas sekali partai politik diberikan wewenang penuh oleh undang-undang," kata Supriansa.
Baca juga: Pandangan PDI-P di Sidang MK, Sistem Proporsional Terbuka Sulitkan Pemilih yang Berwawasan Minim
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.