JAKARTA, KOMPAS.com - Kamis (19/1/2023), pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, dirinya mencium adanya "gerakan bawah tanah" yang mengintervensi vonis terdakwa kasus pembunuhah berencana Brigadir J, Ferdy Sambo.
Ada jenderal polisi bintang satu yang katanya bergerilya, meminta eks Kadiv Propam itu dihukum ringan.
Baca juga: MA Belum Tahu Ada Gerakan Bawah Tanah yang Pengaruhi Putusan Ferdy Sambo
Gerakan gerilya itu tak hanya satu kelompok yang meminta agar hukuman Sambo diringankan, tapi ada juga kelompok yang berharap Sambo dihukum berat.
"Saya sudah mendengar ada gerakan-gerakan yang minta, memesan, putusan Sambo itu dengan huruf, ada juga yang meminta dengan angka," kata Mahfud.
"Ada yang bergerilya, ada yang ingin Sambo dibebaskan, ada yang ingin Sambo dihukum, kan begitu. Tapi kita bisa amankan itu, di kejaksaan, saya pastikan kejaksaan independen," tutur Mahfud.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan tak mengetahui apa yang disebut "gerakan bawah tanah" Mahfud MD.
Pejabat Humas PN Jakarta Selatan Djuyamto menyebut, gerakan itu hanya diketahui dari media masa, tapi tidak pernah terdeteksi berada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kami tidak mengetahui soal informasi tersebut, selain dari berita di media pers," kata Djuyamto, Minggu (22/1/2023).
Baca juga: Pengacara Sebut Gerilya Pengaruhi Vonis Bukan Berasal dari Pihak Ferdy Sambo
Djuyamto enggan memberikan komentar lebih lanjut, karena menurut dia, para hakim yang sedang memimpin jalannya sidang pembunuhan Brigadir J harus fokus dan konsentrasi.
"Kami hanya fokus dan konsentrasi pada proses persidangan," ujar Djuyamto.
Hal senada juga diungkapkan oleh Mahkamah Agung (MA) mengenai informasi gerakan bawah tanah yang disebut Mahfud MD.
Juru Bicara MA Andi Samsan mengaku tak tahu apa yang disebut dengan gerakan bawah tanah yang hendak memengaruhi vonis terhadap Ferdy Sambo.
"Kami belum tahu kalau ada upaya atau gerakan yang mau mengintervensi terhadap majelis hakim dalam menjatuhkan vonis dalam perkara FS," kata Andi.
Akan tetapi, dia memastikan, gerakan yang dimaksud Menko Polhukam itu tidak akan bisa mengintervensi keputusan majelis hakim yang dipimpin Iman Wahyu Santosa itu.
Baca juga: Prihatin Kasus Ferdy Sambo, Eks Wakapolri Oegroseno: Kalau Anak Buah Salah Jangan Dibunuh
Dia bilang, "terlepas ada atau tidaknya gerakan itu, kami percaya bahwa hakim yang menangani perkara tersebut tentu akan tetap menjaga independensinya untuk tidak terpengaruh dari intervensi dimaksud".
Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas etik dan perilaku hakim turut menyoroti isu gerilya yang menghantui peradilan Sambo Cs ini.
Juru Bicara KY Miko Ginting mengatakan, sejak awal kasus pembunuhan yang melibatkan eks Kadiv Propam Ferdy Sambo ini berjaalan, sudah ada risiko yang sangat besar dalam proses hukumnya.
KY bahkan sempat mengusulkan kepada PN Jakarta Selatan agar majelis hakim yang mengadili perkara tersebut disiapkan rumah aman.
"Memang dari awal kasus ini kental dengan risiko terkait terganggunya kemandirian hakim. Sejak awal KY mengusulkan beberapa hal, misalnya pengamanan khusus terhadap hakim," kata dia.
KY juga turun melakukan pemantauan jalannya persidangan tersebut untuk memastikan kemandirian hakim tak terganggu.
Namun demikian, Miko percaya, "hantu" gerakan bawah tanah yang diungkap Mahfud MD pasti sudah disiapkan antisipasi.
"Pihak pemerintah, dalam hal ini paling tidak Pak Mahfud, pasti juga sudah menyiapkan beberapa strategi antisipatif terkait hal ini," kata Miko.
Latar belakang gerakan bawah tanah ini tak lain dipantik oleh kasus pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Maruf, Ricky Rizal dan Richard Eliezer.
Adapun lima terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J telah menjalani sidang tuntutan.
Baca juga: Tanggapan Eks Anak Buah Usai Ferdy Sambo Dituntut Seumur Hidup
Pada pokoknya, kelima terdakwa dinilai jaksa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Yosua yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Kuat Ma'ruf, menjadi terdakwa pertama yang menjalani sidang tuntutan yakni pada Senin (16/1/2023). Kuat dituntut pidana penjara 8 tahun.
Setelah Kuat, giliran Ricky Rizal atau Bripka RR yang menjalani sidang tuntutan. Sama dengan Kuat, mantan ajudan Ferdy Sambo itu dituntut pidana penjara 8 tahun.
Selang sehari atau Selasa (17/1/2023), sidang tuntutan dengan terdakwa Ferdy Sambo digelar. eks Kadiv Propam Polri itu dituntut hukuman pidana penjara seumur hidup.
Berikutnya, Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, menjalani sidang tuntutan pada Rabu (18/1/2023). Oleh jaksa, Putri dituntut pidana penjara 8 tahun.
Terakhir, Richard Eliezer menjalani sidang tuntutan pada Rabu (18/1/2023) siang. Anggota Brimbob berpangkat Bhayangkara Dua (Bharada) itu dituntut pidana penjara 12 tahun.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.