KETIKA Presiden Jokowi menyebut kriteria-kriteria calon pengganti dirinya sebagai presiden, ia seperti berdiri di atas dua kaki, tapi masing-masing kaki berpijak di tempat berlainan.
Jokowi sedang ingin bermain dua tarikan antara dirinya menjadi king maker Pilpres 2024, sekaligus mewujudkan warisan pemerintahan yang baik. Gara-gara itu pula ia di-roasting Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Baca juga: Megawati Roasting Jokowi, Ingatkan Kacang akan Kulitnya
Maka Jokowi berusaha “mempersiapkan” dan “memilih” calon dari kandidat yang masuk. Tentu saja Jokowi berharap bahwa pilihannya, setidaknya sesuai dengan visinya, dan ia merasa harus terlibat aktif sebagai pencetus terpilihnya calon pilihannya itu, sebagai pelanjut legacy pemerintahannya.
Jika memaksakan diri “menunjuk” dari kalangan elite partai, apalagi PDIP, tentu riskan. Maka pilihannya mau tidak mau adalah para calon independen atau calon yang memiliki partai, namun bergerak layaknya “lone wolf”.
Sikapnya itu ditunjukkan melalui pernyataannya yang menyebut kriteria-kriteria pengganti dirinya sebagai presiden.
Sebab, kalau Jokowi hanya berdiam pada satu posisi akan sulit untuk mendapatkan dua tujuannya yang terlihat bertolak belakang, antara menjaga keberlanjutan dan atau tetap membuka diri sebagai king maker dengan tujuan mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya.
Maka para pengamat seperti tahu kemana arah pilihan Jokowi ketika mengungkap kriteria capres harus mumpuni untuk menghadapi kondisi sosial ekonomi Indonesia.
Jokowi menyebut, tokoh yang akan menggantikannya harus memiliki “jam terbang tinggi” dan “saling melengkapi.”
"Ke depan itu memerlukan pemimpin yang, tidak hanya ngerti makronya, mikronya juga harus ngerti, tetapi memang harus mampu bekerja lebih detail, menguasai data dan lapangan, kemudian memutuskan," kata Jokowi dalam wawancara khusus dikutip Kompas.id.
Siapa di antara kandidat saat ini yang namanya sudah masuk dalam bursa pencalonan dengan kriteria tersebut? Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil. Apalagi mereka berelektabilitas tinggi karena pengalaman dan pengakuan dejure dari kelompok pendukungnya, termasuk akar rumput.
Namun langkah politik Jokowi juga harus hati-hati. Memang ada kebutuhan untuk menjaga performa pemerintahan, tetap menjaga hubungan baik dengan partai pengusungnya terdahulu, menjaga jaringan koalisinya, dan menjaga simpati publik pada pemerintahannya.
Dan di antara keempat itu, yang krusial sampai di akhir masa pemerintahananya, adalah menjaga performa pemerintahan, sebagai bentuk pilihan netral.
Jika itu dimaksudkan lebih pada mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya, sekaligus mewujudkan warisan-legacy berupa pemerintahan yang baik.
Jokowi tak mau bermain langsung di pusaran arus, seolah menjadi bagian dari kelompok yang berusaha mempertahankan hegemoni kuasa. Meskipun posisinya sekarang berkat dukungan partai politik dominan.
Karena pilihan-pilihan politik yang sekarang sudah mulai terlihat mengarah kemana, akan berkaitan dengan frekuensi politik kandidat yang dipilih.
Jika merujuk pada Ganjar atau Puan Maharani, itu artinya akan ada barisan kelompok nasionalis di belakang layar besar politiknya.
Tapi jika pilihannya adalah Anies Baswedan, secara politik akan diarahkan pada kelompok-kelompok hijau. Belum lagi urusan yang sangat ribet soal barisan para “penyumbang donasi politik” , yang seringkali justu bertindak sebagai “pengatur” arah politik dan kebijakan.
Baik Prabowo, Anies maupun Ganjar memiliki kebijakan politisnya sendiri soal pilihannya, harus ikut gerbong mana dan akan bersedia dimuati apa.
Gelagat politiknya saja bisa membuat para “petualang politik”, termasuk para buzzer memburunya seperti serigala memburu mangsa ketika kelaparan.
Konsekuensinya, bisa menimbulkan polarisasi politik, komitmen yang kuat terhadap suatu budaya, ideologi, atau kandidat sehingga bisa memecah suatu kelompok.
Sebagai contoh, dalam realitas saat ini, pilihan politik Nasdem adalah bentuk pilihan yang berpijak pada pola yang tidak diarahkan pada frekuensi kelompok tertentu.
Bahkan pilihan politik Nasdem atas Anies Baswedan adalah bentuk politik dukungan tanpa mahar, tanpa konsekuensi, dan ini menarik sebagai wujud politik prosedural yang ideal.
Terutama dalam layer politik yang dipenuhi dengan konsesi, kesepakatan, deal, ketika memutuskan untuk memilih calon, mendukung calon dan bergabung dalam sebuah koalisi.
Maka Partai Nasdem, partai pengusung Anies capres itu bereaksi keras setelah mendengar laporan tentang isu tawaran 2 posisi menteri bagi PKS.
Goyangan-goyangan itu ditengarai sebagai upaya untuk menjegal Anies Baswedan maju kontestasi Pilpres 2024. Hal terkait janji-janji sandera politik, seolah harus memiliki konsekuensi politik berbayar. Apakah itu kursi menteri, atau kepemimpinan di lembaga tinggi negara yang strategis.
Belum apa-apa, baru di tingkat pendekatan atau penjajagan-test the water, langsung pada komitmen, “siapa akan mendapat apa”. Entahlah jika sudah sampai pada tahapan kemenangan, barulah dibicarakan soal pembagian kuasa.
Sebagai konsekuensi presiden yang dipilih rakyat dan harus bekerja dengan dukungan dari semua kelompok, termasuk oposisi yang harus bertindak sebagai pengkritik positif demi pembangunan, bukan justru menjatuhkan.
Dalam fragmen politik Indonesia yang dipenuhi intrik, persekongkolan, kekerasan, kecurangan dari sejak elitenya hingga pendukung fanatiknya, ketika masa memilih calon dan berikhtiar menjadi pemenang, toh pada akhirnya akan kembali pada situasi dan kondisi colling down dan berakhir pada keintiman di kereta, makan nasi goreng pedas bersama, berkuda di Istana, dan politik ada dalam semua momentum itu.
Akhirnya hanya ada pendukung yang gusar, gigit jari, sambil bertanya, jadi apa gunanya bertikai gara-gara politik, jika ujungnya koalisi, konsolidasi, konsesi.
Kini dalam ambiguitas pernyataan Jokowi yang kerap mengingatkan potensi gelapnya ekonomi global harus menjadi perhatian utama, paham ekonomi makro-mikro hingga data, namun juga tetap berbicara soal capres-cawapres.
Itu bagian dari tarik ulur politiknya yang menarik, dengan memosisikan diri sebagai king maker untuk tujuan mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya.
Dengan dua kaki pada tempat berlainan memang sulit melangkah, tapi itu adalah pilihan politik yang harus dilakukan. Jika tidak mau timbul polarisasi politik karena kesalahan langkahnya.
Yang masih penuh tanda tanya meski telunjuk Jokowi semakin jelas mengarah kemana adalah, kriterianya soal “jam terbang tinggi” dan “saling melengkapi.” Kepada siapa clue itu mengarah, apakah itu juga berkaitan dengan “frekuensi politiknya” yang harus sama?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.