TERBITNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (disebut Perpu Cipta Kerja) telah menimbulkan pro kontra.
Sebagai catatan, menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022 dan sesuai Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 bertanggal 08 Februari 2010, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang disingkat Perpu, bukan Perppu.
Pro kontra terbitnya Perpu Cipta Kerja terletak pada perdebatan apakah telah sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021, atau sebaliknya bertentangan dengan putusan MK tersebut.
Memang, dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, ada keterikatan supremasi hukum (supremacy of law) di mana penyelenggaraan negara harus didasarkan dan tunduk pada aturan hukum.
Putusan MK merupakan salah satu bentuk atau produk hukum dan harus ditaati oleh penyelenggara negara termasuk presiden.
Tulisan ini akan mengulas terbitnya Perpu Cipta Kerja dari sisi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dan konsep negara hukum (Indonesia).
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 memutuskan secara pokok: Pertama, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Kedua, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.
Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Kelima, menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Secara pokok, putusan MK menegaskan, pertama, UU Cipta Kerja setelah adanya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tidak berlaku.
Tidak berlakunya UU Cipta kerja ini sampai pembentuk undang-undang melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.
Hal ini dipertegas oleh Mahkamah dalam pertimbangan dalam putusan MK No. 64/PUU-XIX/2021 bertanggal 25 Januari 2022, halaman 106, yang menegaskan, “... menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud.”
Kedua, DPR dan Presiden diperintahkan oleh MK untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja. Dalam kaitan ini MK secara tegas menghendaki perbaikan UU, yang berarti menunjuk bentuk formal UU, bukan Perpu.
Ketiga, perintah yang diberikan MK kepada DPR dan Presiden untuk perbaikan UU Cipta Kerja dibatasi maksimal sampai 25 November 2023.
Keempat, Presiden diperintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang berkaitan dengan UU Ciptaker termasuk menerbitkan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan lainnya yang baru pascaputusan MK tersebut.
Pasca-putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, Presiden menerbitkan Perpu Cipta Kerja untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan dengan tegas bahwa penerbitan Perpu Cipta Kerja tidak menyalahi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.