JAKARTA, KOMPAS.com - Analis politik Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai bahwa pemilu legislatif sistem proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia cenderung melemahkan partai politik sebagai entitas.
Hal itu ia kemukakan menanggapi perdebatan belakangan soal perlu atau tidaknya pemilu Indonesia kembali ke sistem proporsional tertutup, seiring adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Pemilu.
"Sistem proporsional terbuka kekuatan ada pada figur kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik," ungkap Pangi lewat keterangannya pada Senin (9/1/2022).
Baca juga: Sistem Proporsional Tertutup Dikhawatirkan Bunuh Partai Tertentu
Pangi mengungkapkan, sistem proporsional terbuka menjadi ajang bagi sesama caleg saling sikut.
Alasan ini juga dikemukakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah setelah menerima kunjungan komisioner-komisioner KPU RI pekan lalu.
Di lapangan, karena sistem ini memungkinkan pemilih untuk mencoblos nama caleg, maka kekuatan kampanye terletak pada diri caleg tersebut.
Identitas partai politik dinilai dikesampingkan dan kalah pamor dibandingkan caleg.
Hal yang sama dianggap sebagai penyebab rendahnya "party-ID" di Indonesia. Para pemilih tidak merasa dekat atau mengidentifikasi diri dengan partai politik tertentu, alih-alih merasa lebih senang memilih nama sosok tertentu, tak peduli afiliasi partai politiknya.
Baca juga: 8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Pengamat: Bentuk Perlawanan Terbuka
Penelusuran Kompas.com, survei nasional Indikator Politik Indonesia (2021) membuktikan hanya 6,8 persen dari 1.200 responden yang tersebar di semua provinsi yang menyatakan bahwa responden merasa dekat dengan partai politik.
Selebihnya, 92,3 persen, menjawab tidak merasa dekat.
Senada, hasil survei Poltracking Indonesia pada Mei 2022 menunjukkan dominan alasan publik memilih capres/cawapres adalah karena figurnya secara personal (51,4 persen) dan alasan figur tokoh partai/pimpinan partai hanya (14,5 persen).
Baca juga: Voxpol: Sistem Proporsional Terbuka Lemahkan Parpol, Munculkan Caleg-caleg Artis Modal Tenar
Artinya, dominan karakteristik pemilih adalah pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan figur, bukan pemilih yang berbasis partai/pemilih loyal.
"Pemilih merasa tidak punya hubungan yang dekat dengan partainya dan hubungan pemilih dengan partai hanya sebatas hubungan jangka pendek. Oleh karena itu, sistem proporsional terbuka lebih mengandalkan uang. Politik uang tumbuh subur," ungkap Pangi.
Sementara itu, eks komisioner KPU RI sekaligus peneliti senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay menilai bahwa penerapan sistem proporsional tertutup tak serta-merta menghapus politik uang.
Politik uang dinilai hanya berpindah dari lapangan ke internal partai politik, sebab elite partai politik jadi pihak yang paling berkuasa menentukan siapa kadernya yang berhak atas kursi Dewan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.