“Keadilan tidak tampak secara visual, tapi harus dirasakan. Keadilan ada di hati seseorang”-- Olivier Hame
HINGGA saat ini persoalan paling menarik dari kasus Ferdy Sambo adalah, “pemaksaan” kasus dugaan pelecehan seksual, hingga pemerkosaan sebagai motif dari kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Padahal dugaan tersebut dianggap tidak memenuhi syarat untuk diajukan sebagai delik dakwaan. Seluruh laporan tersebut hanya didasarkan pada pernyataan Putri Candrawathi yang memosisikan sebagai korban.
Keterangan dan kesaksian yang hanya disampaikan by nature mengandalkan daya ingat manusia dianggap memiliki kelemahan, terfabrikasi (dapat dibuat-buat), fragmentasi (terpecah) dan terdistorsi (dapat berubah-ubah).
Menurut rekomendasi para psikolog forensik, jangan andalkan kesaksian hanya dari keterangan saksi belaka.
Tuduhan dugaan pelecehan tidak dilengkapi bukti visum at repertum, tidak adanya bukti laporan pengaduan kepada pihak kepolisian, tidak adanya bukti celana atau pakaian dan lainnya di lokus kejadian, demikian juga keterangan saksi yang tidak konsisten dan tidak menguatkan.
Ditambah lagi dengan ganjalan psikologis yang tidak singkron dengan kasus pelecehan yang umum terjadi.
Seperti relasi kuasa yang janggal, lokus di tempat yang sangat riskan dengan banyak penjagaan dan akses senjata, serta tidak adanya efek trauma korban terhadap pelaku, karena bisa berinteraksi dengan cepat sesudah kejadian pelecehan yang dianggapnya “sadis” itu.
Kemunculan motif pelecehan seksual pada awalnya berasa dari skenario bodong mantan Kadiv Propam, Ferdy Sambo yang menyebut kejadian itu di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Ketika Bharada Eliezer yang selama ini bungkam soal skenario Duren Tiga, tiba-tiba berubah haluan, dan bahkan menjadi Justice Colaborator, Sambo kemudian menganulir ketika skenario itu terbongkar, menjadi kasus Magelang, Jawa Tengah.
Dengan segera hal itu menimbulkan polemik antara Sambo Cs yang didukung oleh Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky, dengan Bharada Eliezer.
Eliezer kemudian bersaksi “berhadapan” langsung dengan para terdakwa lainnya.
Dan selama berlangsungnya sidang para terdakwa, selain Eliezer, cenderung berbelit-belit saat memberikan keterangan. Hakim mengendus adanya aroma dusta dari sesi ke sesi persidangan.
Namun pada intinya, hakim hanya membutuhkan kehadiran saksi yang kredibel dengan keterangan yang valid untuk bisa membantunya menarik kesimpulan pada akhir persidangan nantinya.
Setidaknya, hingga saat ini, hakim bisa menangkap kesan yang negatif dari para terdakwa, sehingga sempat memancing marah hakim ketua dalam persidangan dengan mengatakan; “setingan, kalau bohong jangan tanggung, jangan kalian pikir kami bodoh" dan menyebut para terdakwa bisu dan tuli.