HARI-hari terakhir ini muncul kembali debat tentang sistem pemilu yang seharusnya dianut Indonesia: proporsional terbuka atau tertutup? Bagaimana cara menjawab pertanyaan ini?
Tentunya harus ada ukuran atau parameter yang jelas supaya kita punya standar yang sama untuk memahami pesoalan ini. Setidaknya ada lima parameter yang bisa dijadikan acuan.
Pertama, alasan historis. Sistem proporsisonal tertutup penah digunakan pada Pemilu 1955, dan mencapai puncaknya sepanjang pemilu di masa Orde Baru.
Pemilu awal reformasi 1999 juga menggunakan sistem tertutup ini.
Mengapa kemudian sistem proporsional tertutup diganti dengan proporsional terbuka? Sederhana saja. Ini artinya sistem proporsional tertutup mengandung banyak kekurangan dan kelemahan, yang akhirnya kemudian dikoreksi melalui sistem proporsional terbuka.
Kelemahan tersebut sangat jelas dalam beberapa aspek fundamental, antara lain, kedaulatan partai mereduksi kedaulatan rakyat, hubungan anggota legislatif dan para pemilih berjarak lebar, pemilih tidak punya peluang untuk menentukan wakil yang dikehendakinya, kader parpol cenderung mengakar ke atas bukan ke bawah, demokrasi menjadi elitis karena didominasi oleh segelintir oligarki, dan seterusnya.
Jika kita kembali kepada sistem yang tertutup, maka sama artinya dengan menghidupkan ulang seluruh kelemahan dan kekurangan itu dalam sistem pemilu kita.
Kedua, kedaulatan rakyat. Inti demokrasi dan pemilu adalah menegakkan prinsip kedaulatan rakyat.
Di manakah prinsip ini lebih mungkin tumbuh dan berkembang: dalam sistem tertutup atau sistem terbuka?
Dalam sistem tertutup, kedaulatan partai jauh lebih kuat. Partai memegang kendali sepenuhnya siapa yang akan dijadikan anggota legislatif.
Tak sedikitpun celah bagi pemilih untuk ikut campur urusan ini. Siapapun wakilnya, pemilih harus menerima, suka atau tidak suka, kenal atau tidak kenal, baik atau buruk.
Dalam sistem proporsional terbuka, ada keseimbangan antara hak partai dan hak rakyat. Partai mengusulkan nama-nama calon, dan rakyat diberi kebebasan untuk memilih calon mana yang dipercaya untuk mewakilinya.
Dalam kondisi semacam ini, partai “dipaksa” untuk memajukan nama-nama terbaik yang berpeluang besar disukai dan dipercaya rakyat.
Dalam sistem tertutup, kehendak rakyat bukanlah pertimbangan utama, karena simbol partai lebih pokok.
Ketiga, pendewasaan budaya politik. Demokrasi yang kokoh, stabil dan dewasa ditandai oleh budaya politik yang menghargai kompetisi, perbedaan pendapat dan pilihan, toleransi yang asli bukan pura-pura, rasionalitas dalam bersikap dan memilih, komunikasi politik yang terbuka, partisipasi masyarakat yang otonom, dan kesetaraan dalam mobilitas vertikal individu atas dasar kompetensi dan kualitas diri.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.