JAKARTA, KOMPAS.com - Lima terdakwa kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dijatuhi hukuman ringan.
Masa pidana badan maupun denda yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung.
Mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana misalnya, divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.
Padahal, Jaksa menuntut Indra Sari dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
“(Mengadili) Indra Sari Wisnu Wardhana dengan pidana 3 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim Tipikor, Liliek Prisbawono Adi saat membacakan amar putusannya, Rabu (3/1/2023).
Baca juga: Lin Che Wei dan 2 Bos Perusahaan Minyak Goreng Divonis 1 Tahun dalam Kasus Korupsi Ekspor CPO
Terdakwa lainnya, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor hanya divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.
Master sebelumnya dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan membayar uang pengganti Rp 10,9 triliun.
Namun, majelis hakim menyatakan Master tidak membayar uang pengganti karena tidak terbukti memperkaya diri sendiri.
Kemudian, Tim Asistensi Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Lin Che Wei, General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang dan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA mendapatkan hukuman sama.
Mereka harus menjalani 1 tahun pidana badan dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.
Baca juga: Eks Dirjen Kemendag Indra Sari Wisnu Divonis 3 Tahun untuk Kasus Korupsi Ekspor CPO
Padahal, Lin Che Wei dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar; Pierre dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti Rp 4,5 triliun.
Sementara, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti Rp 869,7 miliar.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai peristiwa kelangkaan minyak goreng bisa terjadi juga karena kebijakan pemerintah.
Penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 disebut mengakibatkan kelangkaan minyak.
Hakim berpendapat krisis minyak goreng tidak hanya disebabkan sejumlah produsen minyak yang tidak memenuhi batas minimal domestic market obligation (DMO).
Hakim mengatakan, setelah Permendag itu diberlakukan pada 27 Januari, keesokan harinya minyak goreng lenyap dari pasar.
Baca juga: Eks Mendag Lutfi Disebut Semestinya Tanggung Jawab secara Moral Sebabkan Kelangkaan Minyak Goreng
Namun, setelah diprotes banyak pihak dan Permendag itu dicabut pada 16 Maret, minyak goreng kembali muncul di pasar.
“Hal ini terlihat bahwa intervensi pemerintah terhadap pasar khususnya terhadap minyak goreng termasuk salah satu faktor yang berkontribusi mengakibatkan kelangkaan migor (minyak goreng) dan kenaikan harga migor di pasar,” kata hakim.
Menurut hakim, pemerintah telah melakukan kesalahan dalam mengintervensi pasar. Tindakan ini tidak didukung infrastruktur sebagaimana pada sektor BBM, yakni keberadaan Pertamina.
“Pemerintah tidak memiliki stok minyak goreng dan tidak memiliki badan atau lembaga yang menguasai minyak goreng,” ujar hakim.
Tidak hanya itu, majelis hakim juga berpendapat bahwa kerugian perekonomian negara yang didakwakan Jaksa tidaklah riil atau berdasarkan asumsi.
Jumlah kerugian perekonomian tersebut, sebesar Rp 10.960.141.557.673 merujuk pada laporan ahli bernama Himawan Pradipta bersama tim dari Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hal ini timbul akibat minyak goreng di pasaran langka.
“Setelah majelis hakim meneliti pendapat ahli maupun hasil perhitungan kerugian perekonomian negara yang dihasilkan oleh ahli Himawan Pradipta dan tim tersebut ternyata masih bersifat asumsi belum bersifat riil atau nyata,” kata Liliek di ruang sidang, Rabu (4/1/2023).
Menurut Liliek, pembuktian kerugian keuangan negara sulit dilakukan. Sebab, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur perekonomian negara.