JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja adalah contoh pemerintahan yang seolah berada di atas hukum (rule by law).
Padahal, kata Jimly, MK sudah dengan jelas menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional pada November 2021 dan harus dilakukan perbaikan dalam jangka 2 tahun.
Selain itu, lanjut Jimly, yang seharusnya lebih berperan dalam melakukan revisi UU Cipta Kerja adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan bukan mengambil jalan keluar dengan menerbitkan Perppu dengan alasan kegentingan.
"Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong," kata Jimly dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Baca juga: Soal Perppu Ciptaker, Menkumham: Tidak Bisa 100 Persen Memuaskan Masyarakat
Menurut Jimly, seharusnya pemerintah dan DPR berunding serta merevisi UU Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional.
Jimly juga mengkritik pihak-pihak yang memberi argumen pembenaran penerbitan Perppu tidak melanggar undang-undang.
Bahkan menurut Jimly dalih kegentingan itu juga bisa digunakan buat tujuan lain seperti penundaan pemilihan umum (Pemilu) atau perpanjangan masa jabatan presiden.
"Kalau ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perppu Ciptaker ini, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran untuk terbitnya Perppu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan," ucap Jimly.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Dikritik, Menkumham: Biasalah, Kritik Itu Normal
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada November 2021.
MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.
Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
Baca juga: Apindo Soroti Ketentuan Outsourcing di Perppu Cipta Kerja
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikritik keras oleh Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa.