SEMUA mata tertuju pada persidangan yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akibat kasus yang terjadi di Duren Tiga, Jakarta.
Dakwaan jaksa dalam perkara mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo ini sangat serius. Pasal 340 KUHP yang digunakan dalam dakwaan primer jaksa, mengancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun apabila seseorang terbukti melakukan pembunuhan dengan rencana.
Persoalannya dalam konstruksi Pasal 340 KUHP, unsur utama yang harus terpenuhi adalah adanya rencana (voorbedachte rade).
Sementara, menentukan apa yang dimaksud rencana itu tidaklah semudah menemukan debu di lantai.
Rencana, menjadi unsur yang esensial yang menghasilkan jurang sangat lebar apakah pembunuhan itu bisa diganjar dengan hukuman mati atau tidak. Pertanyaannya, apakah yang dimaksud rencana itu?
Di Indonesia, Arrest Hoge Raad tanggal 22 Maret 1909 kerap dijadikan acuan bahwa rencana memerlukan adanya suatu tenggang waktu, baik panjang atau pendek, untuk dapat melakukan pertimbangan dan pemikiran yang tenang sehingga si pelaku dapat memperhitungkan makna dan akibat perbuatannya. Masalahnya, KUHP tidak merumuskan pengertian dan syarat unsur berencana itu.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, agar dapat diputus bersalah karena pembunuhan berencana, intensi saja tidak cukup, tetapi haruslah disertai dengan kesengajaan, “premeditate the killing and deliberate about it” (Mannheimer, 2011).
Terma tersebut mengindikasikan adanya element of coolness, of calm reflection (Pauley, 1999). Di sini, terletak kesamaan dengan doktrin yang berkembang di Indonesia.
Maka, relevan kiranya untuk memperhatikan apa yang dijelaskan oleh Kremnitzer (1998) terkait element of coolness, of calm reflection, bahwa proses itu dilakukan dalam suasana yang tenang dan bukan pada saat pikiran si pelaku berkecamuk (tempestuous state of mind).
Hal ini menjadi krusial karena sikap impulsif pelaku dengan demikian menghilangkan element of coolness, of calm reflection itu.
Artinya, jika terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tengah terguncang dan pikirannya berkecamuk, apalagi jika jarak antara kejadian yang didalilkan oleh jaksa dengan aktual saat pembunuhan terjadi tidak terlalu jauh, unsur rencana menjadi tidak terpenuhi.
Di sinilah, perdebatan yang perlu diperhatikan oleh hakim, benarkah terdakwa tidak mengalami guncangan emosi atau terganggu ketenangan jiwanya sebelum memutuskan untuk melakukan atau menyuruh lakukan pembunuhan.
Karena tidak dibatasi oleh ketentuan undang-undang, jaksa memiliki peluang untuk mengelaborasikan apa yang dimaksudnya dengan rencana di dalam konteks Pasal 340 KUHP itu.
Untuk itu, sudah menjadi tugas jaksa untuk menguraikan apa yang mereka maksudkan sebagai rencana. Elaborasi mengenai rencana ini haruslah hati-hati, cermat, dan sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
Silap sedikit, bangunan dakwaan yang dibangun jaksa runtuh tak berbekas. Detail sekecil apapun yang terlewat dan tak dapat dibuktikan oleh Jaksa ibarat Achilles heels yang sangat fatal akibatnya bagi persidangan sebuah kasus. Jaksa, harus hati-hati betul.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.