JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyatakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan alasan subjektivitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak sesuai dengan konteks Indonesia sebagai negara hukum.
"Tidak bisa subjektivitas presiden dijadikan dasar dalam bertindak, itu jadinya seperti titah raja, bukan seperti dalam negara hukum," kata Bivitri seperti dikutip dari Tribunnews.com, Selasa (3/1/2023).
Menurut Bivitri, jika alasan subjektivitas Presiden menjadi salah satu alasan penerbitan Perppu maka hal ini bisa menjadi pola baru yang makin menguatkan karakteristik pemerintahan yang mengarah kepada otoritarianisme.
Baca juga: Mahfud: Kalau Saya Tak Jadi Menteri Juga Akan Kritik Perppu Cipta Kerja
Bivitri mengatakan, secara teori penerbitan Perppu tidak bisa sembarangan karena salah satunya harus berlandaskan atas situasi kegentingan yang memaksa supaya pemerintah segera menerbitkan aturan tersebut.
Selain itu, kata Bivitri, Indonesia sebagai negara hukum selalu merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945, sehingga segala bentuk produk hukum yang diterbitkan eksekutif atau legislatif mengacu kepada konstitusi.
"Secara teori memang begitu, makanya ada pembatasan-pembatasan tentang 'hal ihwal kegentingan memaksa', tetapi justru ini yang diinjak-injak oleh pemerintah sekarang," ucap Bivitri.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Baca juga: Penjelasan Lengkap Mahfud MD soal Alasan Jokowi Terbitkan Perppu Ciptaker meski Tuai Kontroversi
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan penerbitan Perppu Cipta Kerja murni karena alasan mendesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009.
“Karena ada kebutuhan yang mendesak ya, kegentingan memaksa untuk bisa menyelesaikan masalah hukum secara cepat,” kata Mahfud di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, (30/12/2022).
Mahfud mengatakan, terdapat 3 alasan penerbitan Perppu dalam putusan tersebut, yakni mendesak, ada kekosongan hukum, maupun upaya memberikan kepastian hukum.
Mahfud, banyak pihak yang belum membaca isi perppu tersebut secara utuh. Dia pun menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Baca juga: Soal Penerbitan Perppu Ciptaker, Gerindra Belum Ambil Sikap Resmi
"Banyak yang, pertama, tidak paham putusan Mahkamah Konstitusi itu seperti apa. Yang kedua belum baca isinya sudah berkomentar. Sehingga saya persilakan saja kalau mau terus didiskusikan, diskusikan saja," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (3/1/2023).
"Tetapi pemerintah menyatakan begini, putusan MK itu mengatakan Undang-undang Ciptaker itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Bersyaratnya apa? Tidak berlaku dulu selama dua tahun. Tetapi selama dua tahun diperbaiki," lanjut dia.
Perbaikan itu, kata Mahfud, berdasarkan hukum acara yang di dalamnya harus ada kaitan bahwa omnibus law masuk di dalam tata hukum Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah memperbaiki UU tentang pembentukan peraturan perundangan.