JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Pidana dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muhammad Arif Setiawan menilai, hasil lie detector atau tes poligraf yang digunakan untuk menguji kebohongan bukan termasuk sebuah alat bukti.
Hal itu disampaikan Arif saat dihadirkan tim penasihat hukum terdakwa Kuat Ma'ruf sebagai saksi meringankan dalam sidang kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Pandangan itu disampaikan menjawab pertanyaan salah seorang tim penasihat hukum perihal sistem pembuktian pidana yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca juga: Dihadirkan Pihak Kuat Ma’ruf, Ahli Pidana Sebut Tak Semua Orang yang Ada di TKP Ikut Lakukan Pidana
“Terkait lie detector, dalam sistem pembuktian pidana kita seperti apa pandangannya?" tanya salah seorang tim penasihat hukum Kuat Ma’ruf dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (2/1/2023).
Atas pertanyaan itu, Arif lantas menyampaikan bahwa alat penguji kebohongan yang dilakukan melalui tes poligraf itu tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Menurut dia, tes poligraf hanya dilaksanakan berdasarkan peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) untuk membantu proses penyidikan.
"Kalau lie detector dilihat dalam Pasal 184 KUHAP itu tidak termasuk ada di sana karena itu, maka ahli memahami itu suatu instrumen untuk keperluan penyidikan," terang Arif.
Arif pun berpandangan bahwa lie detector hanya sebuah instrumen dalam proses pemeriksaan.
Menurutnya, tes pendeteksi kebohongan itu hanya digunakan untuk membantu tim penyidik menerangkan sebuah perkara.
"Ahli memahami itu bukan salah satu alat bukti. Tetapi, kalau hasil dari nilai detector itu dilakukan dengan prosedur yang benar, masih mungkin dimanfaatkan untuk dinilai oleh ahli yang mempunyai kompetensi untuk bisa membaca dan kemudian menerjemahkan hasil dari nilai detector itu," papar Arif.
Baca juga: Ahli Pidana UII Yogyakarta Jadi Ahli Meringankan Kuat Maruf di Sidang Pembunuhan Brigadir J
"Dengan demikian, yang dipakai sebagai alat bukti bukan hasil dari laporan nilai detector-nya tadi tapi adalah pembacaan dari itu," jelas dia.
Atas penjelasan tersebut, penasihat hukum Kuat Ma’ruf lantas mendalami keabsahan tes poligraf berdasarkan persyaratan yang ada di Peraturan Kapolri.
Dalam ketentuan Pasal 13 Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2009 perihal persyaratan pemeriksaan dengan poligraf menyaratkan pihak yang dites dalam kondisi sehat jasmani, rohani dan tanpa paksaan.
“Saya bacakan di Ayat 2 itu, ‘sehat jasmani dan rohani, kondisi terperiksa tidak dalam keadaan tertekan.’ Jika salah satu syarat yang ada di Perkap, kemudian tidak terpenuhi untuk kemudian dilaksanakan tes poligraf, seperti apa dipandangnya?" tanya Penasihat Hukum Kuat Maruf.
Atas pertanyaan tersebut, ahli pidana UII itu lantas menekankan adanya prosedural yang harus ditaati dalam berbagai proses pemeriksaan.