JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada awal Desember 2022 ini mengungkap mayoritas responden menilai hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi belum maksimal.
Melansir Kompas.id, Senin (19/12/2022), lebih dari 80 persen responden menyatakan hukuman koruptor belum setimpal dengan perbuatan mereka.
Kemudian bagi sepertiga responden lainnya menilai, kejahatan korupsi layak diganjar hukuman maksimal, seperti hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Baca juga: Litbang Kompas: Publik Tak Setuju Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg
Lalu sekitar sepertiga lainnya berharap hukuman keras lain, seperti agar pemerintah memiskinkan atau menyita harta pelaku korupsi.
Selain itu, beberapa hukuman lain yang dirasa sepadan oleh publik adalah hukuman sosial dan penghapusan hak politik.
Survei Litbang Kompas juga mencatat adanya 90,9 persen responden yang tidak setuju jika bekas terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif di pemilihan umum (pemilu).
Alasannya, ada kekhawatiran mereka akan mengulangi perbuatannya (37,1 persen). Mereka menganggap, lembaga legislatif rentan praktik terjadinya korupsi.
Baca juga: PAN Tak Percaya Elektabilitasnya Hanya 1 Persen, Sebut Lembaga Survei Harus Tobat
Sepertiga bagian dari kelompok responden yang menolak juga beralasan, semestinya mereka yang sudah pernah terlibat kasus korupsi tidak layak lagi dipercaya mengemban amanah rakyat yang direbut melalui pemilu.
Sementara itu, kelompok responden yang menyatakan setuju bekas terpidana korupsi bisa kembali menjadi calon anggota legislatif setelah masa jeda lima tahun beralasan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua.
Mereka juga beralasan menghormati hak politik setiap orang untuk dipilih di pemilu.
Sebagian dari kelompok responden yang setuju ini juga menjadikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi masa jeda lima tahun setelah bebas ini sebagai bukti sudah ada upaya membatasi hak politik tanpa menghilangkan hak politik itu.
Baca juga: Survei Poltracking, Elektabilitas Prabowo di Jateng Stagnan pada Peringkat Dua
Meski demikian, terbukanya peluang bekas terpidana korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif juga dinilai sebagai ancaman terhadap demokrasi.
Jajak pendapat merekam, 84,4 persen responden menilai masih terbukanya peluang bekas terpidana, termasuk mantan napi korupsi untuk menjadi kontestan di pemilu, merupakan ancaman besar bagi demokrasi.
Kekhawatiran ini tentu tidak berlebihan mengingat potret situasi demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan data The Economist pada 2021, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, demokrasi Indonesia berada di peringkat ke-52 dengan skor indeks di angka 6,71 poin dari skala 0-10.
Dengan skor itu, kualitas demokrasi Indonesia di bawah negara tetangga, seperti Malaysia di peringkat ke-39 dan Timor Leste di peringkat ke-43.
Baca juga: Survei Poltracking: Anies-Ganjar Relatif Imbang di Pulau Jawa
Survei dilaksanakan melalui telepon pada 6-8 Desember 2022. Ada sebanyak 502 responden dari 34 provinsi yang berhasil diwawancarai.
Pengambilan sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di setiap provinsi.
Adapun tingkat kepercayaan survei sebesar 95 persen dengan nirpencuplikan penelitian lebih kurang 4,37 persen dalam kondisi penarikan sampel secara acak sederhana
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.