Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Pesta Sudah Usai, Saatnya Memikirkan Rakyat (Kembali)

Kompas.com - 12/12/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ayah disini ku sendirian
Merenungi kata yang dulu kau berikan
Betapa beratnya hidup ku rasakan
Ingin ku bertemu katakan
Ayah tolong beritahu Ibu
Ingin memeluknya tapi aku malu
Malu jika ku hanya bisa mengeluh
Maafkan aku Ayah Ibu

Suatu saat nanti kan ku gantikan tugasmu Ayah
Doakan aku Ibu, restumu sertai langkahku
Ayah dengarkanlah bahagia pasti datang percayalah
Ibu engkau kuatkan aku
Ibu jangan khawatirkan aku
Ku bukan si kecil yang slalu dimanja Ibu
Aku si pemberani harapan Ibu

Ibu tolong percaya
Ayah katakan pada Ibu
Ku bisa melewati semua pahitku
Meskipun kenyataannya Ayah tahu
Ayah engkau penyelamatku

PENGGALAN lirik lagu “Ayah Ibu” yang dipopulerkan Karnamereka, saat ini tengah viral di berbagai linimasa. Lirik demi lirik lagu itu begitu sarat menggambarkan derita seorang anak yang tengah menghadapi kerasnya kehidupan.

Sebuah akun @menjengkimhoa3 yang menvideokan derita seorang awak angkutan pengangkut barang mengeluh kepada Presiden Joko Widodo, betapa sulitnya dirinya mencari bahan bakar solar sepanjang jalan dari Kediri hingga Nganjuk di Jawa Timur.

Padahal solar itu berguna untuk menjalankan kendaraan demi melancarkan pekerjaan.

Sebagai rakyat kecil, sopir truk begitu “menderita” betapa sulitnya mencari makan di saat ini. Aturan pengisian bahan bakar solar begitu menyulitkan rakyat kecil yang rela “menerima” kenaikan” harga bahan bakar.

Dalam bahasa Jawa, sang pengadu minta agar solar mudah tersedia. Mereka tidak minta, tetapi membeli. Harga sudah naik, tetapi ketersediaan solar masih langka di jalanan.

Kondisi menyedihkan yang dialami sopir truk dalam memburu solar, juga saya temui di Kendari, Sulawesi Tenggara dan jalanan sepanjang Mempawah hingga Pontianak, Kalimantan Barat.

Dalam embat bulan terakhir ini, saya begitu intens mengunjungi daerah-daerah tersebut. Antrean kendaraan truk di sekitaran stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) memanjang hingga memacetkan jalanan.

Waktu kerja pengemudi truk, lebih banyak dihabiskan dengan mengantre solar ketimbang mengangkut barang.

Saat ini, kehidupan memang tengah sulit. Cerita pemutusan hubungan kerja (PHK) kerap kita dengar dari hari ke hari.

Kabar PHK dinanti cemas para pegawai swasta, karena datangnya seperti “maling”. Tidak ada yang tahu dan tidak ada ada yang bisa memastikan. Datangnya kerap mendadak.

Deretan panjang pengangguran akibat gelombang PHK semakin menambah banyak kelompok-kelompok rentan kemiskinan.

Mencari pekerjaan yang paling mudah di tengah sulitnya lapangan pekerjaan formil, tentu saja adalah dengan menjadi pengemudi online.

Padahal, rerata pendapatan pengemudi online semakin menurun akibat besarnya ceruk penerimaan pengemudi-pengemudi baru.

Sahabat saya bertutur, dapat pemasukan Rp 150.000 per hari dari mengemudi ojek motor online saja sudah hebat, walau diimbangi dengan waktu kerja hampir 18 jam penuh.

Masa-masa indah “besarnya” pendapatan dari pekerjaan mengemudi online hanyalah kisah lama yang tidak mungkin kembali.

Kemiskinan kadang tidak memilih, tetapi kekayaan kerap memihak pada kalangan tertentu saja. Saya masih teringat dengan mendiang dosen saya di Universitas Indonesia (UI) yang wajahnya “berkerut” dan rambutnya telah “memutih”.

Beliau dikenal sebagai “embahnya” ilmu Sosiologi. Profesor Selo Sumardjan menyebut kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat karena suatu struktur sosial masyarakat yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Riset Harian Kompas membelakkan mata

Berdasarkan hasil riset Harian Kompas terbaru, mayoritas masyarakat Indonesia diketahui tidak bisa mengakses kebutuhan makanan bergizi seimbang atau makanan sehat. Hal ini disebabkan karena harga pangan yang relatif mahal (Kompas.com, 10/12/2022).

Riset Harian Kompas menyebut biaya yang dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makan bergizi seimbang adalah sebesar Rp 22.126 atau Rp 663.791 per bulan.

Harga ini tentunya berdasar standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food Agriculture Organization/FAO).

Dengan patokan biaya sebesar itu, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut.

Padahal gizi seimbang itu adalah menu dengan porsi seimbang antara makanan pokok atau sumber karbohidrat, lauk pauk atau sumber protein dan lemak, sayuran dan buah serta air minum.

Hasil analisis Kompas tersebut tidak jauh berbeda dengan analisis FAO tahun 2021 yang menegaskan bahwa ada 69,1 persen penduduk Indonesia yang tidak mampu membeli pangan bergizi.

FAO mengakui, dalam empat tahun terakhir, proporsi warga yang tidak mampu membeli pangan bergizi di Indonesia jauh lebih membaik.

Pada 2017, proporsi penduduk yang tidak mampu membeli pangan bergizi mencapai 70,7 persen, tetapi 2018 ada perbaikan dan menurun menjadi 68,9 persen dan semakin landai di 2019 menapak di 67,3 persen.

Namun, pandemi Covid-19 menyebabkan angka proporsi kembali meningkat menjadi 69,1 persen.

Ke mana dan di mana para menteri bekerja?

Di tengah hiruk pikuknya pernikahan agung nan kolosal putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep di Jogyakarta dan Surakarta, ternyata masih ada kebahagian yang bisa kita saksikan.

Keluarga mempelai merasa lega demikian juga para pembantu presiden tidak kalah sibuknya ikut mempersiapkan acara meriah tersebut.

Beberapa hari sebelum perhelatan besar itu digelar, kisruh soal ketersedian beras meyeruak ke permukaan. Perum Bulog akan mendatangkan beras dari negeri jiran sebanyak 200.000 ton sebelum akhir tahun 2022.

Sementara itu, Kementerian Pertanian menyebut bahwa produksi beras tahun ini surplus. Bahkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo membanggakan kalau produktivitas beras tahun ini tertinggi selama republik ini ada (Cnbcindonesia.com, 7 Desember 2022).

Menurut Syahrul, dinamika yang terjadi harus menjadi perhatian tidak saja soal produktivitas dan ketersediaan, tetapi juga keterjangkauan.

Menteri Syahrul sepertinya ingin menepis alasan Bulog untuk impor beras karena tirisnya produktivitas beras. Bahkan Syahrul menyebut, data Badan Pusat Statistik (BPS) berkorelasi dengan klaim Kementerian Pertanian.

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo ikut menegaskan kembali mengapa Bulog harus mendatangkan beras dari luar, mengingat impor 200.000 beras hanyalah untuk mengisi stok Bulog.

Ketersedian beras di pasar dibutuhkan untuk kondisi luar biasa yang bisa mengintervensi harga beras.

Bulog harus tetap punya cadangan beras untuk situasi yang di luar rencana seperti bencana alam, banjir hingga gempa.

Surplus beras sebesar 1,7 juta ton yang disebut BPS dan diamini Kementerian Pertanian, diakui semua pihak termasuk Bulog memang berada di rumah tangga petani (65 persen), pedagang (12,4 persen), penggilingan (10 persen), dan sisanya 9 persen berada di Bulog.

Sengkarut saling siapa yang betul, apakah argumen Kementerian Pertanian atau alasan impor dari Bulog menjadi gambaran betapa “runyamnya” urusan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan standarisasi (KISS) di rezim sekarang.

Beras boleh langka di pasaran, atau harganya mahal, tetapi yang jelas pendapatan petani tidak beranjak membaik.

Keluhan soal ketersedian solar dan pertalite di berbagai daerah menjadi persoalan klasik. Sekelas Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi komisaris Pertamina pun, tidak bisa menjawab kelangkaan dua jenis bahan bakar yang dibutuhkan wong cilik.

Warga yang saya jumpai kerap mengeluhkan, mereka sebagai rakyat sudah patuh dan menerima kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM walau di tengah sulitnya ekonomi warga.

Namun kenapa harga sudah naik, rakyat mau beli BBM sulitnya bukan main karena langkanya ketersediaan BBM.

Langkanya minyak goreng beberapa waktu yang menimbulkan antrean panjang para pembeli di seantero negeri, menjadi ironis karena terjadi di negeri penanam pohon kelapa sawit terbesar di dunia.

Kurangnya ketersedian beras di pasaran juga menjadi tamparan bagi kita yang selama ini dikenal sebagai negara agraris. Tepatkah kita masih membanggakan negeri kita sebagai gemah ripah loh jinawi?

Saatnya para menteri sibuk memikirkan rakyat usai sibuk mengurus pesta hajatan. Jika para menteri dianggap tidak kapabel mengurus bidang pekerjaannya, saatnya Presiden Jokowi tidak perlu canggung lagi mengganti menteri-menterinya.

Kasian, rakyat sudah lama tidak mengalami “pesta” kemakmuran.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Rumah Polisi Jadi Penampungan TPPO, Polri: Masih Didalami Propam Polda Lampung

Rumah Polisi Jadi Penampungan TPPO, Polri: Masih Didalami Propam Polda Lampung

Nasional
KPK Geledah PDAM Bandung Terkait Dugaan Suap Yana Mulyana

KPK Geledah PDAM Bandung Terkait Dugaan Suap Yana Mulyana

Nasional
Selesaikan Kemelut RUU Kesehatan

Selesaikan Kemelut RUU Kesehatan

Nasional
80 Persen Korban Perdagangan Orang adalah Perempuan, Pemerintah Bakal Bentuk Direktorat PPA dan TPPO

80 Persen Korban Perdagangan Orang adalah Perempuan, Pemerintah Bakal Bentuk Direktorat PPA dan TPPO

Nasional
Panen Perdana, Sinergi Antam dan Petani Jagung di Maluku Utara Hasilkan 3.352 Tongkol Jagung

Panen Perdana, Sinergi Antam dan Petani Jagung di Maluku Utara Hasilkan 3.352 Tongkol Jagung

Nasional
Geopolitik Indonesia, ASEAN Damai, dan Membangun Dunia

Geopolitik Indonesia, ASEAN Damai, dan Membangun Dunia

Nasional
Demokrat Desak Anies soal Cawapres, Nasdem: Terus Terang Saja kalau Bukan AHY Jadi Wakil Mau Mundur

Demokrat Desak Anies soal Cawapres, Nasdem: Terus Terang Saja kalau Bukan AHY Jadi Wakil Mau Mundur

Nasional
Mantan Pimpinan KPK Datangi DPR, Minta Kasus Korupsi BTS 4G Kominfo Diusut Tuntas

Mantan Pimpinan KPK Datangi DPR, Minta Kasus Korupsi BTS 4G Kominfo Diusut Tuntas

Nasional
KPK Duga Eks Komisaris PT Wika Beton Lobi Hakim Agung Lewat Sekretaris MA

KPK Duga Eks Komisaris PT Wika Beton Lobi Hakim Agung Lewat Sekretaris MA

Nasional
Kaji Revisi UU TNI, Lemhannas Fokus pada Perubahan Ancaman dan Hubungan Sipil-Militer

Kaji Revisi UU TNI, Lemhannas Fokus pada Perubahan Ancaman dan Hubungan Sipil-Militer

Nasional
Kemenag Minta Maskapai Saudia Diperiksa karena Kerap Ubah Kursi Pesawat Haji

Kemenag Minta Maskapai Saudia Diperiksa karena Kerap Ubah Kursi Pesawat Haji

Nasional
Kemenag Kecewa Maskapai Saudia Ubah Jadwal Terbang dan Jumlah Kursi Pesawat Jemaah Haji

Kemenag Kecewa Maskapai Saudia Ubah Jadwal Terbang dan Jumlah Kursi Pesawat Jemaah Haji

Nasional
Ketika PDI-P Kini Buka Peluang Dialog dengan Demokrat...

Ketika PDI-P Kini Buka Peluang Dialog dengan Demokrat...

Nasional
Eks Jaksa KPK Dody Silalahi Diperiksa Penyidik KPK Soal Dugaan Suap di MA

Eks Jaksa KPK Dody Silalahi Diperiksa Penyidik KPK Soal Dugaan Suap di MA

Nasional
AHY Masuk Radar Cawapres Ganjar, PDI-P: Politik Harus Buka Ruang Dialog

AHY Masuk Radar Cawapres Ganjar, PDI-P: Politik Harus Buka Ruang Dialog

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com