JAKARTA, KOMPAS.com - Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang dirayakan Jumat (9/12/2022) diharapkan tak hanya berisi seremonial semata.
Lebih dari itu, Hakordia 2022 mestinya bisa menjadi momentum pemerintah untuk mengingatkan semua pihak agar berkomitmen mencegah praktik korupsi jelang tahun politik 2023.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan penyelenggaraan Hakordia 2022 cukup strategis karena bisa membawa pesan penting untuk mengetatkan pengawasan dan penindakan korupsi politik yang diduga marak terjadi jelang penyelenggaraan pemilu.
“Di mana agenda politik sangat padat baik di pusat maupun di daerah, maka harus dipersiapkan sejak saat ini, mitigasi-mitigasi risiko terhadap penanggulangan korupsi,” ujar Zaenur kepada Kompas.com, Jumat (9/12/2022).
Baca juga: Hari Antikorupsi Sedunia, Ini Deretan Kasus Korupsi dengan Angka Paling Fantastis
Ia mengungkapkan tindakan korupsi jelang pemilu sering terjadi karena para politisi mencari modal untuk bisa meraih banyak suara dari konstituen.
Apalagi, partai politik (parpol) kerap membebankan mahar pada kadernya yang akan berkontestasi.
“Sistem kepartaian yang belum sehat dan dari sisi partai ada tuntutan pada para calon untuk menyetor dana dengan alasan pemenangan pemilu,” kata dia.
“Mengakibatkan calon-calon terpilih mengembalikan modal dengan korupsi, dengan menjual izin, pengadaan barang dan jasa, dan rekrutmen pegawai,” ungkap dia.
Dikutip dari Kompas.id, jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukan praktik politik uang dalam pemilu masih terjadi.
Berdasarkan survei yang dilakukan 11-14 Desember 2020, diungkapkan sebanyak 16,9 persen responden mengaku pernah ditawari uang atau kebutuhan pokok untuk memilih calon kepala daerah saat Pilkada 2020.
Kemudian soal mahar politik, terdapat 20 responden calon kepala daerah yang mengaku mengeluarkan biaya Rp 50 juta hingga Rp 500 juta untuk mendapatkan satu jatah kursi DPRD.
Baca juga: Hakordia 2022: Ironi Adik-Kakak Terjerat Kasus Korupsi
September lalu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengungkapkan berdasarkan riset KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) biaya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah cukup tinggi.
Ia menjelaskan untuk menjadi gubernur rata-rata seseorang harus merogoh gocek Rp 100 miliar, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi bupati/wali kota di angka Rp 20-30 miliar.
Dalam pandangannya angka itu tak masuk akal jika dibandingkan dengan gaji yang diterima gubernur dan bupati/wali kota.
Baca juga: Hakordia 2022: KUHP Jadi Kado Manis Koruptor
Situasi itu, lanjut dia, membuat praktik korupsi terus berlangsung, dan pesta demokrasi menjadi transaksional.