JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, pemberhentian hakim konstitusi yang belum habis masa jabatannya harus merujuk ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika alasan pemberhentian tidak mengacu pada aturan tersebut, maka dapat dikatakan tindakan itu inkonstitusional.
Penegasan ini disampaikan MK saat membacakan pertimbangan putusan uji materi UU MK yang menyoal pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi.
"Tindakan yang dilakukan di luar ketentuan norma Pasal 23 UU MK adalah tidak sejalan dengan UUD 1945," kata hakim Saldi Isra dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (23/11/2022).
Baca juga: MK Kuatkan Penggantian Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR
Menurut Mahkamah, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, jika hakim tersebut mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan ke ketua MK.
Kedua, apabila hakim sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya, dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Ketiga, hakim diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan yang termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK.
Mahkamah menyatakan, pemberhentian tersebut harus didahului dengan surat permintaan ketua MK ke presiden.
"Seandainya terjadi alasan pemberhentian dalam masa jabatan tersebut, pemberhentian oleh presiden baru dilakukan setelah adanya surat permintaan dari Ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Saldi.
Mahkamah menilai, aturan ini perlu ditegaskan. Sebab, penggantian hakim konstitusi oleh lembaga pengusul baru ditindaklanjuti setelah ada keputusan presiden tentang pemberhentian hakim konstitusi.
Adapun aturan soal mekanisme pemberhentian hakim MK sebelum habis masa jabatan dimaksudkan untuk menjaga independensi sekaligus kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Proses pemberhentian hakim MK yang tak sesuai dengan ketentuan tersebut dinilai dapat merusak independensi kekuasaan kehakiman.
"Tindakan di luar ketentuan tersebut juga merusak independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai benteng utama negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945," kata Saldi lagi.
Baca juga: Ketua MK Enggan Beri Komentar Soal Pencopotan Aswanto yang jadi Sorotan
Namun demikian, dalam putusannya, Mahkamah menolak seluruhnya permohonan uji materi UU MK yang dimohonkan oleh seorang advokat bernama Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak itu.
Mahkamah menilai bahwa ihwal yang dipersoalkan pemohon dalam uji materi UU MK ini merupakan pengaduan konstitusional.