Oleh: Bayu Permana Sukma
TANGGAL 21 Februari diperingati setiap tahun sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hari yang dicanangkan pada tahun 1999 oleh UNESCO dan telah diperingati sejak tahun 2000 tersebut menjadi momentum pengakuan dunia atas kebebasan individu dalam menuturkan, melestarikan, dan mempromosikan bahasa ibunya.
Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional sekaligus memberikan pesan kepada dunia akan pentingnya posisi bahasa ibu sebagai pembentuk jati diri dan pembangun peradaban.
Bahasa ibu sendiri didefinisikan sebagai bahasa pertama yang dipelajari dan dikuasai manusia. Di Indonesia, bahasa daerah menjadi bahasa ibu bagi sebagian besar masyarakatnya.
Melalui bahasa ibu (daerah), pengetahuan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Lewat bahasa yang pertama kali didengar dan diucapkan itu, masyarakat Indonesia berkomunikasi, belajar, dan membangun hubungan sosial.
Seiring pertambahan usia dan perkembangan akalnya, bahasa ibu kemudian digunakan juga untuk mengekspresikan emosi: kesedihan, kemarahan, kesukaan, ketidaksukaan bahkan kebencian terhadap sesuatu atau orang lain.
Dalam kapasitasnya sebagai sarana untuk mengungkapkan emosi itulah, bahasa ibu pada gilirannya juga digunakan sebagai alat untuk menumpahkan kemarahan atau kebencian, yang belakangan kita kenal dengan istilah “ujaran kebencian”.
Penggunaan bahasa daerah dalam ujaran kebencian kini marak terjadi, khususnya di media sosial. Tidak hanya di kalangan orang dewasa, tetapi juga di kalangan remaja atau pelajar.
Bedanya, jika kasus-kasus ujaran kebencian yang melibatkan orang dewasa biasanya berlanjut ke pengadilan, ujaran kebencian dalam wujud perundungan siber yang dilakukan oleh para pelajar umumnya tidak berlanjut ke proses hukum.
Namun demikian, konflik fisik antarpelajar di dunia nyata seperti perkelahian dan tawuran seringkali justru dipicu oleh tuturan atau perang kata-kata di media sosial (Puspitasari, 2019).
Penelitian terkait pola tuturan perundungan siber di kalangan pelajar yang dilakukan Okitasari dkk (2020) menemukan setidaknya ada tiga bahasa daerah yang digunakan dalam tuturan perundungan.
Bahasa-bahasa daerah tersebut umumnya muncul dalam bentuk makian atau istilah tabu, dari nama hewan hingga organ vital manusia.
Fakta tersebut dilematis. Di satu sisi kita senang mendapati kenyataan bahwa bahasa daerah ternyata masih digunakan di media sosial oleh kalangan pelajar, yang pada gilirannya dapat berkontribusi dalam upaya pelestarian bahasa daerah melalui pendokumentasian bahasa di ranah digital sebagaimana diungkapkan Katubi (2020).
Namun di sisi lain, kita juga prihatin dan sedih karena bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia justru tampil dalam wajah yang bengis, kasar, dan penuh kebencian.
Bahasa daerah yang seharusnya menjadi alat untuk membangun persaudaraan dan keakraban antarsesama suku justru digunakan untuk menyemai permusuhan dan perpecahan di kalangan sendiri.