HARI ke hari, kita saksikan wujud nyata intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Fenomena baru, adanya dua oknum kepolisian yang diduga terlibat dalam aktivitas terorisme berupa “menyuplai perlengkapan senjata”, membuktikan infiltrasi jaringan terorisme ke lintas sektor ini sangat berbahaya.
Siapa pun bisa dipengaruhi oleh jaringan teroris. Mereka berupaya untuk mengelabui aparat guna mendapatkan perlengkapan aksinya.
Keterlibatan itu menuntut adanya program kontra radikal-terorisme yang tidak saja menyasar masyarakat, tetapi pemangku kebijakan dan pihak keamanan agar terhindar dari tipu muslihat jaringan teroris.
Kita harus sadar, terjadinya perubahan pola, motif, target, strategi gerakan dan penyederhanaan aksi tidak saja membuat kita untuk mewaspadai semata, melainkan sinergisitas lintas sektor, guna menanggulangi dari hulu dan hilir.
Humas Polri melalui kegiatan Kontra Radikal-Terorismenya, mengingatkan dan mengajak seluruh elemen akan bahaya radikal-terorisme yang berpotensi menyasar siapa pun.
Di sisi lain penguatan wawasan keagamaan dan kebangsaan untuk internal dan eksternal harus terus dilakukan sebagai wujud komitmen bersama dalam mencegah dan menanggulangi radikal-terorisme di bumi pertiwi.
Dari berbagai dinamika perubahan yang terjadi dalam kelompok teroris, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang menjadi rujukan utama dalam penindakan oleh Densus 88 Antiteror, menuntut tafsiran aplikasi yang berprikemanusiaan.
Dan cakupan yang luas itu, menuntut adanya pendekatan dua arah: “soft approach” dan “hard approach”.
Pendekatan “soft approach” ini harus ditopang dua sisi pula, yakni: keagamaan dan kenegaraan.
Saat ini panduan hukum dari aspek negara sudah mencukupi. Namun panduan dari aspek keagamaan belum memadai, disebabkan Fatwa MUI tentang Terorisme Nomor 3 Tahun 2004, yang lahir pasca-Bom Bali I Tahun 2002 dan peristiwa 11 September 2001 hanya memotret aspek bunuh diri, teror, terorisme dan pemaknaan jihad.
Cakupan dalam fatwa itu menuntut pembaharuan karena perkembangan dalam tubuh terorisme pun berkembang.
Ketika Parawijayanto tertangkap, dirinya meninggalkan satu doktrin yang termuat dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah), yang berbunyi “Al-Mutaghayyirat” atau “strategi perselancaran di sebuah alam” dalam melakukan kaderisasi, rekruitmen hingga penggalangan dana.
Warisan ini tidak terpisahkan dari fatwa jihad yang pernah dikeluarkan Al-Qaeda ketika ingin melakukan operasi kepada Barat. Fatwa-fatwa yang ada itu bisa sebagai motivasi utama atau pelengkap dalam gerakan jihadis mereka.
Pembaharuan Fatwa MUI tentang Terorisme diperlukan karena adanya sederetan masalah terorisme memerlukan adanya pengakomodiran aspek-aspek terbaru.
Dan pembaharuan fatwa ini, memerlukan atensi pemerintah dan pihak keamanaan sebagaimana dorongan pemerintah terhadap lahirnya Fatwa MUI tentang terorisme tahun 2004 silam.