JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi memperkirakan, akan ada sejumlah pihak yang kemungkinan sulit menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024.
Hal ini tak terlepas dari kendala pendataan serta tantangan distribusi logistik pemilu yang rumit karena pemilu digelar serentak.
Pertama, kelompok disabilitas. Mantan komisioner KPU RI ini menilai, masih banyak keluarga yang menyembunyikan anggota keluarga disabilitas untuk pendataan.
"Mereka merasa itu menjadi aib. Padahal, dari pendataan yang baik itulah proses pemenuhan fasilitas dari KPU-nya itu akan lebih maksimal. Kalau tidak diketahui ia disabilitasnya apa, maka ya dianggap ia adalah pemilih yang normal sehingga di TPS dia tidak terlayani," jelas Ubaid ketika dihubungi pada Jumat (18/11/2022).
Baca juga: KPU Minta Jajaran di Daerah Pastikan Rekrutmen PPK-PPS Bebas Dagang Sapi
Kedua, kelompok masyarakat yang tinggal di area perkebunan hutan. Menurutnya, sulit untuk mengidentifikasi mereka secara administratif, sedangkan hak pilih warga negara ditentukan berbasis KTP.
"Selama mereka tidak punya KTP, tidak terdaftar di desa apa, mereka tidak bisa masuk DPT," ujar Ubaid.
"Itu jadi masalah. Jadi, dari yang sifatnya administrasi lalu menjadi kehilangan hak konstitusional. Apalagi yang perkebunannya itu skalanya ribuan hektar. Mereka penduduk dari mana-mana, tapi dikumpulkan di situ, tapi KTP-nya bukan KTP situ," jelasnya.
Kemudian, kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi akibat konflik. Ubaid menilai, tak sedikit dari mereka yang tak tercatat dengan baik bahwa telah pindah domisili. Mereka pun tak kembali ke tempat semula untuk memberikan suara saat pemilu akibat konflik tersebut.
"Ini juga jadi problem yang sulit ditangani. Ini harus dicari jalan keluarnya," ucapnya.
Baca juga: KPU Buka Rekrutmen PPK dan PPS Pemilu 2024, Ini Syaratnya
Kelompok keempat yakni para narapidana yang jumlahnya sangat banyak dan berbagai lembaga pemasyarakatan di Indonesia berstatus kelebihan penghuni.
Ini menjadi tantangan berat untuk KPU karena para napi berasal dari domisili yang sangat bervariasi.
"Jadi misalkan Anda dari Ponorogo, tapi Anda dipenjara di Bogor, KTP Anda tetap Ponorogo. Jadi ketika Anda didata, Anda tidak bisa menggunakan hak pilih Ponorogo karena Anda sedang di Bogor," jelas Ubaid.
Baca juga: KPU: Hasil Perbaikan Administrasi 5 Parpol Menang Sengketa Diumumkan 18 November 2022
Mereka mungkin dapat terdata dengan baik, tetapi untuk memfasilitasi mereka memberikan suara, khususnya anggota legislatif, dinilai sangat rumit.
Sebab, surat suara pileg berlainan untuk masing-masing dapil. Mereka kemungkinan hanya dapat ikut serta dalam pilpres yang penyediaan surat suaranya lebih sederhana karena tunggal.
"Karena tidak mungkin memindahkan hak suara dari Ponorogo hanya untuk melayani itu. Dari segi waktu, teknisnya sangat beririsan karena di tiap kota ada lapas, sementara di lapas bercampur narapidana dari mana-mana," ungkap Ubaid.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.