JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan sebuah lembaga yang menangani perlindungan data pribadi di Indonesia saat ini dinilai semakin dibutuhkan buat menanggulangi dan menangani rentetan insiden kebocoran data.
Dalam peristiwa terbaru, peretas Bjorka kembali mengklaim mempunyai data pengguna aplikasi PeduliLindungi sebanyak 3,2 miliar yang diunggah melalui situs breached.to.
Baca juga: Data Publik Masih Bocor, Kominfo dan BSSN Dinilai Perlu Berperan Atasi meski Sudah Ada UU PDP
Menurut pakar keamanan siber Pratama Dahlian Persadha, saat ini kebutuhan akan keberadaan lembaga perlindungan data sudah mendesak mengingat serangan siber yang terjadi juga semakin gencar.
"Setelah rentetan kebocoran yang tidak berujung maka saat ini yang terpenting adalah segera membentuk lembaga pengawas PDP atau apapun namanya. Misalnya Komisi PDP," kata Pratama saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/11/2022).
Perintah supaya pemerintah mendirikan lembaga perlindungan data adalah amanat dari Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Proses pendirian lembaga itu dimulai ketika UU PDP mulai diberlakukan.
Baca juga: Data PeduliLindungi Dijual Bjorka, Pemerintah Diminta Gelar Audit dan Forensik Digital
"Komisi PDP ini nanti tidak hanya mengawasi, namun juga melakukan menegakkan aturan serta menciptakan standar keamanan tertentu dalam proses pengolahan pemrosesan data," ucap Pratama.
Pratama berharap lembaga perlindungan data itu nantinya tidak hanya mengawasi, tetapi juga meminta pertanggungjawaban kepada instansi pemerintah atau korporasi yang dianggap lalai dalam melindungi data pengguna.
"Dalam kasus kebocoran data seperti aplikasi PeduliLindungi ini, bila ada masyarakat yang dirugikan bisa nantinya melakukan gugatan lewat Komisi PDP," ujar Pratama.
Peretas Bjorka dilaporkan mengunggah data PeduliLindungi di forum breached.to pada Selasa (15/11/2022) lalu, bertepatan dengan pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali.
Baca juga: Data PeduliLindungi yang Dijual Bjorka Diduga Tidak Dienkripsi
Menurut Pratama, contoh data PeduliLindungi yang diunggah Bjorka dalam situs tersebut yaitu nama, email, nomor induk kependudukan (NIK), nomor telepon, tanggal lahir, identitas perangkat, status Covid-19, riwayat check-in, riwayat pelacakan kontak, vaksinasi dan masih banyak data lainnya.
Bjorka menjual data yang berjumlah 3,2 miliar itu dengan harga 100.000 Dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1,5 miliar. Dia memberi syarat transaksi menggunakan mata uang kripto BitCoin.
Menurut Pratama mengemukakan, data yang diklaim oleh Bjorka berjumlah 3,250,144,777, dengan total ukuran mencapai 157 Gigabyte bila dalam keadaan tidak dikompres.
Data sampel yang diunggah Bjorka dibagi menjadi 5 jenis, yaitu data pengguna (94 juta), akun yang sudah disortir sebanyak (94 juta), data vaksinasi (209 juta), data riwayat check-in (1,3 miliar), dan riwayat pelacakan kontak (1,5 miliar).
Baca juga: Bjorka Diduga Bocorkan 44 Juta Data MyPertamina, Pertamina Lakukan Investigasi
Pratama menyarankan supaya seluruh lembaga yang terlibat mengelola aplikasi PeduliLindungi segera melakukan audit dan proses forensik digital buat mencari sumber kebocoran data.
Dia juga menyoroti pengamanan data pengguna PeduliLindungi yang sangat sensitif lantaran diduga tidak dienkripsi atau disandi. Alhasil, kata dia, data penting itu jadi mudah terbaca ketika diambil peretas.