PERHELATAN KTT G20 memasuki titik puncak, apakah akan ada “Deklarasi Bali” yang dapat menjadikan pedoman baru untuk menyelesaikan krisis politik, ekonomi, dan kesehatan ataukah pertemuan ini hanya akan berakhir seremonial tanpa bekas?
Untuk menjawab hal tersebut, menarik kita melihat hasil penelitian Clifford Geertz (1980) tentang sebuah negara teater yang memproduksi simbol, identitas, dan warisan, di mana setiap kelompok masyarakat ditata dan memiliki peran khusus dalam ritus keagamaan Bali yang terjadi pada abad ke-19.
Penelitian ini dilakukan oleh Geertz dengan menggunakan pendekatan historis dan antropologi pada kerajaan-kerajaan di Bali dalam menyelanggarakan upacara keagamaan sebagai ajang untuk menunjukan kekuasaan dan pengaruhnya.
Indonesia sebagai tuan rumah G20 mengerahkan hampir semua energi negara dan memberi tugas khusus kepada kelompok strategis seperti organisasi agamawan, pengusaha, dan pemuda untuk menyukseskan perhelatan akbar tersebut.
KTT G20 di Bali bagi Indonesia dan dunia memiliki peran strategis sehingga Presiden Jokowi sekuat tenaga menjaga dan merawat kepercayaan global.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap dapat mengembalikan marwah KTT G20 untuk menjaga ekonomi dunia dan mengatasi berbagai tantangan yang sedang dan akan terjadi krisis seperti ketahanan pangan, kesehatan, dan transisi energi yang lebih adil.
G20 diprediksi akan memberikan potensi ekonomi yang signifikan bagi Indonesia, yakni sekitar 600.000-700.000 lapangan kerja baru, kontribusi terhadap PDB Indonesia Rp 7,4 triliun, pelibatan UMKM dan penyerapan tenaga kerja hingga 33.000 orang, peningkatan jumlah wisatawan mancanegara 1,8 juta-3,8 juta orang (Kompas, 11 November 2022).
Pertunjukan teater G20 masih didominasi dengan narasi ekonomi dan potensi keuntungan yang akan didapatkan.
Pertemuan antarpemimpin negara dalam forum internasional lebih cenderung membicarakan kebijakan ekonomi sifatnya jangka pendek dan sedikit sekali yang memberikan inspirasi baru dan dapat terus diestafetkan kepada generasi selanjutnya.
Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Martha C Nussbaum (2010), hampir semua negara di dunia berkompetisi mengejar keuntungan jangka pendek guna menghadapi sebuah krisis serta aktif menghadiri konferensi global tetapi melupakan dan meninggalkan nilai humaniora dalam hasil perjanjian internasionalnya.
Padahal kekuatan utama beradaptasi dan inovasi dalam masa krisis lahir dari akal manusia. Daya tahan dan ide akan muncul jika kebutuhan dasar pendidikan disusun dan diberikan secara maksimal sehingga menghasilkan manusia kreatif dan tangguh.
Sebagai tuan rumah Indonesia perlu menyusun peta jalan kolaborasi ekonomi internasional yang menggunakan pendekatan humanis dan tidak berorientasi kepentingan jangka pendek.
Menurut Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) jumlah penduduk di Bumi mencapai 8 miliar pada 15 November 2022, naik empat kali lipat dari tahun 1950 yang jumlah hanya 2,5 miliar (Kompas, 8 November 2022).
Peningkatan penduduk tersebut perlu dicarikan jalan solusi karena 60 persen penduduk dunia tersebar pada negara G20.
Pendekatan ekonomi saja tidak akan cukup efektif menghadapi krisis yang disertai laju peningkatan penduduk yang masif. Perlu ada inspirasi baru dari perspektif humaniora.