JAKARTA, KOMPAS.com - Cerita tentang hari-hari terakhir Soekarno di masa hidupnya menjadi sejarah pahit bangsa Indonesia dan keluarga Proklamator itu.
PDI Perjuangan juga tampaknya tak akan lupa dengan memori tersebut. Baru-baru ini, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu meminta pemerintah minta maaf kepada Soekarno dan keluarga.
Sebabnya, Soekarno pernah dituding sebagai pengkhianat negara dan disingkirkan hingga akhir hayatnya.
Baca juga: PDI-P Minta Pemerintah Minta Maaf kepada Soekarno dan Keluarga
Menurut PDI-P, tudingan yang pada akhirnya tak terbukti itu tidak adil bagi Soekarno dan keluarganya.
"Seyogianya negara melalui pemerintah Republik Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada Bung Karno dan keluarga, serta bangsa Indonesia atas perlakuan yang tidak adil yang pernah dialami seorang proklamator bangsa, seorang pendiri bangsa," kata Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah saat ditemui di kawasan Bandung, Jawa Barat, Selasa (8/11/2022).
Lantas, seperti apa kisah hari-hari terakhir Soekarno itu? Mengapa PDI-P ingin pemerintah meminta maaf?
Cerita bermula dari lunturnya kekuasaan Soekarno sebagai presiden usai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada 11 Maret 1966, Soekarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Surat itu pada pokoknya memberikan perintah untuk Soeharto agar memulihkan ketertiban dan keamanan umum pascapembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Baca juga: Jokowi Tegaskan Negara Akui dan Hormati Jasa Soekarno kepada Indonesia
Soeharto yang saat itu masih duduk sebagai Panglima Angkatan Darat mengambil gerak cepat. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/3/1966, dia membubarkan PKI atas nama Presiden Soekarno.
Supersemar juga dimanfaatkan Soeharto untuk menahan sejumlah menteri yang dianggap terkait dengan PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965.
Dari situlah, sepremasi Soekarno mulai digerogoti. Ujungnya, Bung Besar dilengserkan dari tampuk tertinggi kekuasaan karena pidato pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permisyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Soekarno resmi menanggalkan kursi RI-1 pada 1967 setelah menandatangani surat pernyataan penyerahan kekuasaan.
Tak sampai di situ, pada 12 Maret 1967, MPRS menerbitkan Ketetapan MPRS Nomor 33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Disebutkan dalam TAP MPRS tersebut bahwa Soekarno tidak menyampaikan pertanggungjawaban jelas soal pemberontakan G 30 S/PKI. Soekarno juga disebut terindikasi melakukan kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan dan melindungi tokoh-tokoh G 30 S/PKI.
TAP MPRS itu juga melarang Soekarno melakukan kegiatan politik hingga pemilihan umum.