POLISI tembak polisi, CCTV yang mati, agaknya frasa itu tak lagi hanya sekadar lelucon, tapi sudah menjadi ciri baru yang ditunjukkan oknum institusi Polri dalam “menyelesaikan” urusan yang menimpanya agar lebih mudah dan instan solusinya.
Ini membuat publik semakin kritis meninjau kembali kasus-kasus yang sudah lama dipeti-eskan atau mangkrak tanpa kejelasan kebenarannya.
Tindakan para oknum dilakukan tidak dengan perkiraan yang cermat. Maka kasus-kasus baru yang bermunculan kemudian justru menjadi clue bagi terbongkarnya kasus-kasus lawas yang tersembunyi, namun menyisakan misteri.
Di zaman ketika banyak “mata digital” menyaksikan sebuah peristiwa kejahatan, sulit bagi mata biasa berkelit. Maka perilaku atau tindak oknum polisi yang menghilangkan bukti dengan cara manual menjadi bentuk “kebodohan unfaedah”.
Kita tentu harus belajar dari pengalaman keberhasilan Polri dalam menyingkap kejahatan kasus Ferdy Sambo dalam skenario pertama yang gagal.
Ketika sambo menggunakan media WhatsApp dalam merancang skenario pembunuhan atas Brigadir Josua bersama penasihat kepolisian dan dengan mudah dapat dideteksi oleh kecanggihan digital forensik.
Demikian juga dukungan keberadaan CCTV sebagai perekam bukti kejahatan, yang kemudian memudahkan tim penyidik untuk memastikan bahwa kejadian di Duren Tiga adalah kasus kejahatan pembunuhan berencana.
Setidaknya dalam dua peristiwa kasus yang melibatkan institusi Polri melakukan pelanggaran obstuction of justice yang sama atas kasus yang menderanya.
Dalam kasus Sambo yang terkenal dengan lelucon satirnya, polisi tembak polisi yang mati CCTV, kali ini berulang dalam kasus tragedi di Stadion kanjuruhan Malang.
Fakta bahwa polisi menembakkan gas air mata tak hanya di tengah lapangan, tapi hingga merangsek ke tribun, tapi justru CCTV yang“dilenyapkan” datanya.
Sama-sama bentuk upaya obstuction of justice dari para pelaku tindakan kejahatan yang melanggar prosedural penanganan keamanan dalam sebuah pertandingan olah raga dengan penggunaan senjata api.
Apalagi faktanya dalam kesaksian para petugas keamanan menolak tuduhan telah melakukan tindakan tidak prosedural dengan menembakkan gas air mata langsung ke tribun. Mereka berdalih asap dari gas air mata itu terbawa angin hingga ke tribun penonton.
Padahal begitu banyak "mata kamera" yang menyajikan fakta bahwa gas air mata memang langsung ditembakkan ke tribun. Dan hal itu tak bisa dibantah sekalipun dengan melenyapkan bukti rekaman CCTV di Stadion Kanjuruhan.
Kasus dihapusnya rekaman kamera CCTV Stadion Kanjuruhan dalam pertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022, yang menyebabkan jatuhnya korban tewas 134 orang terungkap dalam laporan hasil investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).
Data rekaman CCTV yang dihapus berdurasi 3 jam 21 menit lebih. Rekaman CCTV yang dihapus berlokasi di lobi utama dan area parkir Stadion Kanjuruhan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.