JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), Baety Adhayati mengatakan, banyak korban kekerasan seksual baik anak-anak dan perempuan takut melapor.
Hal ini dilandasi karena beberapa alasan, yaitu menerima ancaman dari pelaku, pelaku merupakan orang terdekat di lingkungannya, adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku, atau karena stigma di masyarakat.
Baca juga: Kekerasan terhadap Anak Capai 11.952 Kasus, Mayoritas Kekerasan Seksual
Ia menyampaikan, alasan-alasan ini pun membuat penanganan terhadap korban kekerasan seksual menjadi sulit. Salah satunya, ada keluarga yang memilih pindah setelah anaknya mendapat kekerasan karena stigma tetangga dan orang-orang sekitar.
"Banyak kasus yang akhirnya loss (penanganannya) juga karena keluarga pindah akibat stigma dari lingkungan sosialnya, atau kemudian si anak akhirnya putus sekolah. Nah ini harus kita soroti," kata Baety dalam konferensi pers secara daring, Jumat (28/10/2022).
Baety menjelaskan, korban kekerasan seksual takut melapor karena biasanya diancam oleh pelaku. Ancamannya bervariasi, yakni diancam akan disebar informasi beserta videonya di lingkungan sekolah, atau korban dan keluarganya diancam akan dibunuh.
Kemudian, alasan lain korban tidak mau melapor adalah pelaku kekerasan seksual merupakan orang terdekat. Dalam beberapa kasus, pelakunya bahkan merupakan anggota keluarga, baik ayah kandung atau ayah tiri, hingga saudara laki-lakinya.
"Atau kadang-kadang justru lingkungan-lingkungan yang kita tidak sadari, misal seperti guru ngaji, itu ternyata ada juga kasusnya. Mereka enggak nyangka atas situasi yang terjadi, padahal ini masih keluarga atau tetangga," ucap Baety.
Baca juga: Pelaku Kekerasan Seksual di Depok Disebut Om Badut, Ini Alasannya
Selanjutnya, ada relasi kuasa atau hubungan kuat antara pelaku dan korban. Biasanya korban berada pada posisi atau struktur yang lebih lemah daripada pelaku.
Relasi kuasa ini kerap ditemukan pada kekerasan seksual di lingkungan sekolah dalam beberapa kasus terakhir, misalnya antara guru dengan murid.
"Kemudian ada stigma yang lazim yang ada di masyarakat, pola pikir masyarakat yang menilai bahwa ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, berarti sudah ada kerusakan pada alat kelamin," tutur Baety.
Situasi-situasi yang tidak ideal dan tidak merangkul korban lantas membuat korban semakin terkekang. Mereka menerima dampak yang berlipat ganda, baik secara fisik maupun secara emosional akibat kekerasan seksual tersebut.
"Justru yang harus kita cermati adalah apakah ada dampak psikologis terhadap korban? Itu justru lebih krusial. Dampaknya nanti bisa berhenti sekolah dan timbul penyakit menular seksual. Ini seharusnya lebih kita perhatikan dibanding stigma masyarakat," jelas Baety.
Sebagai informasi sepanjang tahun 2021, kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan mencapai 11.952. Sebanyak 58,6 persen atau 7.004 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 8.478 kasus, sebanyak 15 persen atau 1.272 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.