Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPU Dikritik, Dianggap Kurang Libatkan Pemantau dalam Tahapan Pemilu

Kompas.com - 21/10/2022, 19:01 WIB
Vitorio Mantalean,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dikritik karena dianggap tidak memberikan ruang yang cukup bagi lembaga pemantau untuk mengawasi tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan sejauh ini.

Sebagai informasi, KPU telah membuka pendaftaran calon peserta Pemilu 2024, dengan total ada 40 partai politik yang mendaftar.

Namun, hanya 24 partai politik yang dinyatakan lolos ke tahap verifikasi administrasi.

Pada tahap verifikasi administrasi, KPU menyatakan hanya 9 partai politik DPR RI yang lolos dan 9 partai politik nonparlemen yang berhak berlanjut ke tahap verifikasi faktual. Sedangkan 6 partai lain dinyatakan gugur.

Baca juga: Sebut KPU Kurang Transparan, KIPP Minta Bawaslu Buka Ruang bagi Parpol Tak Lolos Verifikasi

Sementara itu, Proses verifikasi faktual saat ini masih berlangsung.

"KPU tidak pernah mengundang pemantau pemilu untuk datang dalam setiap tahapan: pendaftaran, verifikasi administrasi, dan verifikasi faktual seperti saat ini," ujar Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta kepada wartawan, Jumat (21/10/2022).

"Kami pemantau, ruang yang pernah kami gunakan adalah di pendaftaran. Itu pun kami inisiatif sendiri," ujarnya menambahkan.

Sebagai informasi, sejauh ini sudah ada 23 lembaga pemantau pemilu yang diakreditasi di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, termasuk KIPP.

Sebanyak 23 lembaga pemantau pemilu itu terakreditasi sebagai pemantau di level nasional.

Baca juga: KPU Dinilai Kurang Transparan dalam Proses Verifikasi Parpol Calon Peserta Pemilu 2024

Kaka menambahkan, karena pemantau pemilu tidak dilibatkan secara langsung oleh KPU, maka mereka tidak bisa menilai kelayakan partai politik yang sejauh ini telah lolos tahapan verifikasi administrasi.

Padahal, menurutnya, hal ini penting bukan hanya pada tataran teknis. Tetapi juga filosofis demokrasi.

"Ini adalah proses yang membentuk atau menentukan sistem presidensial kita. Filosofinya perlu kita pahami, ini bukan sekadar teknis, tapi secara filosofis, bagaimana partai politik pada Pemilu 2024 akan menentukan sistem presidensial dengan multipartai sederhana," ujar Kaka.

"Multipartai sederhana perlu dipahami untuk meyakinkan kita semua sebagai bangsa agar proses penetapan yang dilakukan sebelumnya dari pendaftaran dan verifikasi administrasi dan faktual, itu betul-betul menghasilkan partai yang mengikuti pemilu sesuai undang-undang," katanya lagi.

Kompas.com telah meminta tanggapan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik. Tetapi, hingga berita ini disusun, belum ada tanggapan.

Baca juga: KPU Siapkan Indeks Keterendahan Informasi, Singgung Perlunya Pemerataan Akses Internet untuk Pemilu

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com