Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/10/2022, 15:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan mendapati proses jatuhnya korban tragedi tersebut jauh lebih mengerikan dibanding gambaran dari video yang sudah beredar dalam beberapa waktu terakhir.

Ketua TGIPF Tragedi Kanjuruhan Mahfud MD mengatakan, horornya kejadian tersebut diperoleh setelah tim melakukan rekonstruksi dari rekaman yang berasal dari 32 kamera CCTV milik aparat.

"Fakta yang kami temukan, korban yang jatuh itu, proses jatuhnya korban itu jauh lebih mengerikan dari yang beredar di televisi maupun di medsos (media sosial) karena kami merekonstruksi dari 32 CCTV yang dimiliki oleh aparat," kata Mahfud MD dalam keterangan pers, Jumat (14/10/2022).

Mahfud mengatakan, detik-detik jatuhnya korban tragedi Kanjuruhan tidak sekadar diwarnai oleh penembakan gas air mata.

Baca juga: TGIPF: Korban Tragedi Kanjuruhan Wafat dan Luka karena Desak-desakan Akibat Gas Air Mata

Ia menuturkan, ada korban yang tewas terinjak-injak karena berusaha menyelamatkan kawannya yang masih terjebak di dalam stadion.

Mahfud melanjutkan, ada pula korban yang tewas akibat tembakan gas air mata saat sedang memberi bantuan napas kepada temannya.

"Jadi, itu lebih mengerikan dari sekadar semprot mati, semprot mati gitu. Ada yang saling gandengan untuk keluar bersama, satu bisa keluar yang satu tertinggal, yang di luar balik lagi untuk nolong temannya, terinjak-injak, mati," kata Mahfud.

"Ada juga yang memberi bantuan pernapasan itu karena satunya sudah tidak bisa bernafas, membantu, kena semprot juga, mati gitu, itu ada di situ," ujarnya melanjutkan.

Baca juga: TGIPF Tragedi Kanjuruhan Tiba di Istana untuk Serahkan Laporan ke Jokowi

Namun, Mahfud mengatakan, hasil investigasi TGIPF memastikan bahwa penyebab jatuhnya korban tragedi Kanjuruhan adalah berdesak-desakan seusai penembakan gas air mata

Ia lantas mengungkapkan, tingkat bahaya atau racun dalam gas air mata itu tengah diperiksa oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Tetapi, apa pun hasil pemeriksaan dari BRIN itu tidak bisa mencoreng kesimpulan bahwa kematian massal itu terutama disebabkan oleh gas air mata," kata Mahfud MD.

Diketahui, sedikitnya 132 orang tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022.

Selain itu, ada ratusan korban luka berat hingga ringan usai situasi menjadi ricuh usai aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton.

Kerusuhan berawal dari kekalahan tim sepak bola tuan rumah Arema FC dari tim lawan Persebaya Surabaya.

Baca juga: Ada Aksi Saling Lempar Tanggung Jawab, Mahfud: TGIPF Tragedi Kanjuruhan Harus Ungkap Kebenaran

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com