JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan tiga alasan mengapa Indonesia harus mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Hal itu disampaikan pria yang akrab disapa Eddy Hiariej ini dalam sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Universitas Sumatera Utara (USU) Kamis (13/10/2022).
Menurut Wamenkumham, KUHP yang saat ini digunakan Polisi, Jaksa, dan Hakim di pengadilan adalah KUHP yang dibuat tahun 1800.
“KUHP yang dibuat pada tahun 1800 tidak terlepas dari situasi dan kondisi KUHP itu dibuat, yang orientasi hukum pidananya aliran klasik, yaitu menekankan kepentingan individu, tidak bicara kepentingan masyarakat, apalagi negara,” terang Eddy Hiariej.
Baca juga: Merdeka dengan KUHP Nasional
Selain itu, lanjut Wamenkumham, hukum pidana dalam KUHP digunakan sebagai sarana balas dendam. Padahal, telah terjadi perubahan paradigma hukum pidana secara universal.
“Sehingga sudah tidak cocok lagi KUHP yang kita gunakan dengan paradigma hukum pada saat ini,” papar Eddy.
Alasan kedua, kata Wamenkumham, saat ini KUHP yang digunakan di Indonesia sudah berumur 220 tahun atau sudah out of date.
“Kita harus melakukan formulasi, membangun/memperbaharui KUHP dengan situasi dan kondisi serta era digital yang berlaku saat ini,” ujar Eddy.
Baca juga: Soal Revisi KUHP, Anggota DPR: Percayakan ke Kita, Insyaallah Lebih Banyak Manfaat daripada Mudarat
Terakhir dan ini yang paling serius menurut Wamenkumham, yakni berkaitan persoalan kepastian hukum.
Menurut Eddy, dari berbagai versi terjemahan KUHP yang beredar di masyarakat, yang ada di toko buku, yang diajarkan oleh dosen di perkuliahan tidak ada ketentuan yang menyebutkan terjemahan mana yang legal.
“Kira-kira yang sah/legal yang mana, apakah KUHP yang diterjemahkan oleh Mulyatno, Andi Hamzah, atau R. Susilo? Antar satu penerjemah dan lainnya berbeda, dan perbedaannya cukup signifikan,” tutur Eddy.
Wamenkumham pun mencontohkan Pasal 110 KUHP. Terjemahan KUHP versi Mulyatno dan Susilo yang menurutnya bagai langit dan bumi.
Baca juga: Beragam Alasan Pemerintah Tolak Buka Draf Terbaru RUU KUHP
“Mulyatno mengatakan, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 104 – 109 KUHP, dipidana sama dengan perbuatan itu dilakukan. Kalau sama berarti pidana mati,” papar Eddy.
Sementara itu, lanjut Wamenkumham, terjemahan RKUHP versi Susilo mengatakan, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 104 – 109 KUHP, diancam dengan pidana maksimal enam tahun.
“Pidana mati dan maksimum enam tahun itu kan seperti langit dan bumi,” ujar Eddy.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.