Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buntut Tragedi Kanjuruhan, Muncul Petisi Berhenti Gunakan Gas Air Mata

Kompas.com - 07/10/2022, 12:06 WIB
Vitorio Mantalean,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Blok Politik Pelajar membuat petisi yang mendesak pemerintah tidak lagi mengizinkan penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa. Hal itu buntut dari tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022.

Dalam tragedi terbesar kedua sepanjang sejarah olahraga modern di dunia itu, sedikitnya 131 orang tewas karena terinjak hingga sesak napas diduga akibat tembakan gas air mata polisi.

“Kami Blok Politik Pelajar yang merupakan wadah perkumpulan anak muda yang bergerak di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, bersama-sama dengan publik menuntut kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Direktur Utama PT Pindad untuk tidak memproduksi, memperjualbelikan dan menggunakan gas air mata," tulis mereka dalam petisi yang diunggah ke laman Change.org.

"Apalagi, diperuntukkan sebagai senjata penanganan massa,” bunyi petisi itu lagi.

Baca juga: Soal Tragedi Kanjuruhan, Fadli Zon: Dunia Menyoroti Perihal Gas Air Mata

Hingga berita ini disusun pada Jumat (7/10/2022) pukul 11.45 WIB, tercatat petisi ini sudah ditandatangani 52.841 orang dari target 75.000 tanda tangan.

Blok Politik Pelajar mengkritik Polri yang kerap berdalih bahwa gas air mata telah digunakan secara terukur untuk mengendalikan massa, walaupun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

“Penggunaannya acapkali tidak pada tempat dan waktunya, cenderung serampangan,” tulis mereka.

“Contohnya, tiga balita yang jadi korban gas air mata ketika polisi berupaya membubarkan demonstrasi mahasiswa di depan Kampus I Universitas Khairun, Ternate, April 2022 lalu. Kemudian, demonstran di Jawa Timur yang terkena proyektil gas air mata pada demonstrasi tahun 2020 lalu. Terbaru, penggunaan gas air mata di stadion Kanjuruhan, Malang,” jelas Blok Politik Pelajar dalam petisinya.

Baca juga: 3 Polisi Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan, Perintahkan Tembakkan Gas Air Mata

Dalam petisi itu, mereka juga mengutip riset dari Universitas Toronto yang menyarankan pemerintah setempat menghentikan pemakaian gas air mata karena dapat merusak fungsi organ.

Terakhir, Blok Politik Pelajar berharap agar gas air mata bukan hanya tak digunakan dalam pertandingan-pertandingan olahraga, melainkan juga dalam penanganan massa aksi unjuk rasa.

“Kebebasan berpendapat perlu dijamin tanpa perlu memakai gas air mata,” tulis mereka.

Kemudian, mereka memberikan sejumlah hasil investigasi dari tragedi Kanjuruhan untuk memperkuat argumen perihal pelarangan penggunaan gas air mata.

Baca juga: Hujan Gas Air Mata di Stadion Kanjuruhan, 8 Ditembakkan ke Tribune, 3 ke Lapangan

Dituliskan bahwa berdasarkan investigasi The Washington Post, polisi diduga menembakkan 40 kali gas air mata, utamanya ke arah selatan Stadion Kanjuruhan dalam tragedi maut itu.

Sementara itu, regulasi FIFA telah melarang sepenuhnya penggunaan gas air mata untuk pengendalian massa.

Temuan awal Komnas HAM dari penyelidikan Tragedi Kanjuruhan juga menguatkan hal yang sama.

Komisioner bidang penyelidikan dan pemantauan Komnas HAM, Choirul Anam, menemukan bahwa para jenazah menunjukkan profil seragam, yakni wajahnya membiru sampai mulutnya berbusa.

Hal ini mengindikasikan bahwa para korban tewas akibat kekurangan oksigen dan menghirup gas air mata.

Baca juga: INFOGRAFIK: Larangan Gas Air Mata Digunakan untuk Perang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Nasional
Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com